‘Nyate’ Kambing Muda di Klaten

Rabu pagi, 21 September 2017, tiba-tiba telepon genggam saya berdering. Cukup mengagetkan, karena kantuk masih menggayut. Dengan agak malas-malasan saya pun beranjak dari pembaringan, tempat saya menjaring mimpi tadi malam.

Ranjang yang empuk. Di sebuah kamar hotel di Yogyakarta. Hotel Grand Keisha namanya. Hotel yang bisa dikatakan baru, karena baru lima bulan dioperasikan. Hotelnya, menurut saya asyik. Di sebelah hotel, ada toko buku, Toga Mas namanya. Koleksi bukunya cukup lengkap. Banyak diskon pula.

Dengan langkah agak diseret, saya pun beranjak menuju meja, tempat telepon genggam saya letakkan. Kantuk belum juga hilang. Telepon pun saya angkat. ” Halo, siapa nih?”, tanya saya tanpa melihat layar handphone. Langsung angkat saja. Maklum kantuk masih menggayut.

Ternyata panggilan telepon itu datang dari Pak Acho Maddaremeng. Dia kepala bagian Humas di Kementerian Dalam Negeri. ” Mas, nanti langsung ikut bapak ke Solo ya, terus kembali ke Yogyakarta, Klaten, pulang Jumat,” kata Pak Acho di ujung telepon.

Waduh, pikir saya dalam hati. Lanjut kerja lagi? Harusnya hari Rabu saya pulang ke Jakarta dengan penerbangan sore. Tapi terdengar Pak Acho kembali menghiba, meminta saya stay di Yogyakarta, untuk kemudian lanjut ke Solo, meliput kegiatan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Bapak yang dimaksud Pak Acho, tak lain adalah Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.

Padahal saya coba menolaknya. Tapi kata Pak Acho, Menteri Tjahjo sendiri yang meminta langsung. Ia pun terus menghiba. Saya pun akhirnya menyerah, memutuskan stay di Yogyakarta, untuk kemudian lanjut pergi ke Yogyakarta, meliput kegiatan Mendgari yang hendak menghadiri acara Kirab Pusaka Malam 1 Suro yang diadakan Keraton Mangkunegaran Solo. Kata Pak Acho, nanti akan ada stafnya yang jemput pakai mobil. Jadi saya dan stafnya itu diminta langsung meluncur ke Solo pakai mobil.

Baca juga:  Kenangan yang Tertinggal di Empal Gentong Haji Apud

Siangnya, staf Pak Acho, Rizki dan Rangga, sudah nongol di hotel. Keduanya sudah saya kenal dekat. Diantar pakai mobil milik Diklat Kemendagri di Yogyakarta, kami pun langsung meluncur ke Solo. Jarum jam menunjukan pukul 14.00 lewat, sedikit lagi pukul 15.00. Arus lalu lintas lumayan padat, saat mobil bergerak menuju jalan raya Yogyakarta-Solo.

” Mas lapar enggak? Kalau sudah lapar, bilang yah, nanti kita berhenti makan dulu,” kata Rizki, staf Humas Kemendagri yang menyertai saya ke Solo.

” Santai saja Ki, kalau kau mau makan, makan saya, saya ngikut,” jawab saya, sambil merebahkan badan di kursi mobil. Tiba-tiba, kantuk siang menjelang sore datang.

” Siap,” kata Rizki.

Akhirnya mata terpejam, tak bisa menolak kantuk yang datang memberati mata. Saya pun tertidur untuk beberapa saat. Sampai terdengar Rizki memanggil-manggil, membangunkan saya. ” Mas makan dulu kita, ” katanya.

Saya segera bangun. Langsung menengok ke jendela. Mobil pun menepi ke pinggir jalan. Sekilas saya lihat warung tenda dengan kain pembatas warna merah. Dengan sisa kantuk, terbaca tulisan sate. ” Wah nyate nih,” pikir saya.

Ternyata kami sudah sampai kota Klaten. Di kota itu, berhenti sejenak dengan maksud hendak isi perut. Di sebuah warung sate. Saya pun turun dari mobil. Begitu pun Rizki, Rangga dan Pak Wawan, supir yang antar kami. Baru setelah turun dari mobil terbaca jelas nama warung sate yang hendak kami singgahi. Warung maka sate Pak Codot, demikian nama warung sate itu. Di kain merah yang jadi pembatas warung terbaca juga tulisan mencolok berisikan menu yang ditawarkan. Sedia sate tongseng, gule dan tengkleng.

Baca juga:  Wajib Dicoba! 5 Strategi Jitu Wisata Kuliner Hemat Biaya

Rasa lapar langsung menggelegak. Di dalam warung, tampak beberapa orang yang sedang makan. Di ujung warung, ada pikulan, tempat biasa memasak tongseng. Seorang ibu yang tampak masih muda, sibuk meracik tongseng dan tengkleng yang dipesan pembeli. Cukup cekatan, menggongseng bumbu tongseng di kuali yang diletakan di atas pembakaran semacam anglo. Arang tampak menyala. Bau bumbu tongseng meruap, membuat rasa lapar kian menyiksa perut. Di depannya, bapak -bapak asyik mengipas sate.

Untungnya, ada beberapa ibu-ibu yang selesai makan. Kami pun segera mengisi tempat duduk yang kosong. ” Mau pesan apa mas,” tanya Rizki.

” Sate sama tongseng,” kata saya.

Kembali Rizki bertanya. ” Tongsengnya mau yang daging apa kepala kambing?”

Wah, tongseng kepala kambing, kata saya dalam hati. Terus terang saya belum pernah mencicipi tongseng kepala kambing. Maka, saya pun memesan itu. Setelah menunggu beberapa saat, pesanan pun datang. Sepiring sate, dan satu mangkok tongseng kepala kambing. Rasa lapar sudah tak tertahan lagi. Setelah semua pesanan datang, tanpa ba-bi-bu, sate dan tongseng kepala kambing saya sikat.

 

Satenya empuk. Bumbu kecapnya, walau menurut saya agak terlalu manis, tapi cukup nikmat. Tapi yang paling nikmat, adalah tongseng kepala kambingnya. Potongan kepala kambing, yang disiram kuah tongseng benar-benar bikin lidah saya kelojotan. Nikmat. Tidak alot. Dalam sekejap, tandas sudah.

Rizki bahkan memesan lagi, tengkleng kaki kambing. Ini pun tak kalah nikmat. Benar-benar makan siang yang nikmat. Rasa lapar pun, langsung meruap kabur. Diganti perut kenyang. Ah, kalau boleh kasih ponten, nilai rasa sate Pak Codot, bolehlah dikasih angka 9. Setelah istirahat sejenak, kami pun melanjutkan perjalanan ke Solo, membawa sisa rasa nikmat sate Pak Codot.

Baca juga:  Yuk, Cicipi Steak Versi Lokal dengan Bumbu Khas Solo!

 

Reply