Kenangan Saat Pertama Kali Injakan Kaki di Gedung Tua Lawang Sewu Semarang

Lawang Sewu, adalah salah satu ikon wisata di Kota Semarang. Lawang Sewu adalah sebuah gedung tua peninggalan kolonial Belanda. Namanya terkenal saat ada program di sebuah stasiun televisi mengulasnya.

Tahun 2011, pertama kali saya mengunjungi Lawang Sewu yang dikenal orang punya aroma mistis. Dan, ini catatan kenangan saya saat datang dan merasakan suasana gedung tua Lawang Sewu.

Lawang Sewu, sendiri terletak di pusat jantung kota Semarang. Letaknya ada dekat Tugu Muda, tetengger utama Kota Semarang. Di sekeliling Tugu Muda sendiri, banyak berdiri gedung-gedung utama di Kota Semarang. Tak jauh dari Gedung Lawang Sewu, berdiri gedung Wisma Perdamaian, gedung dinas orang nomor satu di Jawa Tengah, yang saat ini dijabat oleh Ganjar Pranowo.

Tak jauh dari situ pula berdiri Meuseum Perjuangan Mandala Bakti. Juga gedung Padanaran. Sekitaran Tugu Muda juga bertebaran hotel-hotel. Namun bila ingin menginap di penginapan bertarif murah, memang harus rela menjauh dari kawasan Tugu Muda. Di sekitaran Stasiun Poncol, banyak hotel-hotel kelas Melati.

Gampang mengenali Gedung Lawang Sewu. Bila sudah sampai kawasan Tugu Muda, cari gedung tua, dengan dua menara dan didepannya ada kereta tua. Letaknya bersisian dengan sebuah pusat perbelanjaan terkenal.

Tidak lengkap datang ke Semarang jika tidak berkunjung ke Lawang Sewu. Foto: heritage.kai.id

Ketika itu siang hari saya datang mengunjungi Lawang Sewu. Tepatnya tengah hari, saat teriknya matahari menghajar batok kepala. Saat tiba di sana, Seorang perempuan, penjaga gerbang menyambut. Tiket masuk ke Lawang Sewu ketika itu saya ingat masih sebesar 10 ribu. Itu tiket masuk untuk satu orang. Waktu itu, biar paham seluk beluk Lawang Sewu, saya pakai seorang pemandu. Namanya kalau tak salah Mas Ferry. Mas Ferry yang menemani saya berkeliling Lawang Sewu. Dengan dipandu Mas Ferry, saya pun berkeliling Lawang Sewu, dimulai dari gedung utama yang nampak baru selesai di renovasi. Sayang, gedung utama yang baru direnovasi belum dibuka untuk umum.

” Belum dibuka, karena masih ada pengerjaan instalasi listrik,” kata Mas Ferry ketika itu.

Sambil mengelilingi setiap jengkal Lawang Sewu, Mas Ferry menerangkan asal usul gedung Lawang Sewu. Katanya, gedung itu di jaman kolonial Belanda, digunakan sebagai kantor perkereta apian pihak kolonial.

Lawang Sewu, merupakan gedung tua peninggalan kolonial Belanda. Foto: heritage.kai.id

Sementara dua menara yang mengapit gedung utama, kata dia adalah menara air. Kapasitas tampungnya cukup fantastis, 5000 liter tiap menara. ” Airnya di ambil dari sumur dekat gedung utama,” katanya sambil menunjuk sebuah bangunan yang tak jauh dari gedung utama.

Saat tiba depan gedung, nampak sebuah prototipe kereta jaman baheula. Mas Ferry pun menerangkan, dulu jaman kolonial, depan gedung ada lintasan kereta api yang terhubung ke Stasiun Poncol dan Tawang, yang sampai sekarang masih difungsikan.

Di depan ada prototipe kereta. Tapi kata dia, yang sekarang terpampang di depan Lawang Sewu, bukan model kereta yang kerap lewat depan Lawang Sewu, di jaman kolonial. Di dalam kereta tercetak, nama pembuat kereta itu, yakni Grootste Stoomdrukking. Tahun pembuatan kereta juga tercetak, yaitu 1907.

Gedung Lawang Sewu itu sendiri nama baheulanya adalah Gedung Nederland Indische Spoorwed atau NIS, perusahaan maskapai kereta api kolonial Belanda.

Gedung utama itu sendiri, terdiri dari ruang kerja para kepala seksi pegawai kereta api, juga ada ruang tamu, ruang kepala dinas kereta api dan ruang santai.

Di dekat kereta ada sebuah tugu. Tugu itu menurut Mas Ferry, adalah makam dari 9 prajurit Angkatan Muda Kereta Api atau Amka yang dibunuh oleh Jepang, dimana saat itu pihak Jepang mengalihfungsikan Lawang Sewu sebagai benteng pertahanan. Juga penjara penyiksaan.

Kata Mas Ferry, pengunjung Lawang Sewu, akan mulai ramai menjelang lebaran. Puncaknya setelah lebaran, dimana banyak warga yang mengisi hari lebarannya dengan berkunjung ke Lawang Sewu.

” Yang banyak di kunjungi pemudik itu selain Lawang Sewu adalah Kota Tua juga klenteng Sam Poo Khong,”Mas Ferry menjelaskan.

Setelah itu, Mas Ferry mengajak melihat gedung satunya lagi. Ia menyebutnya gedung B atau gedung tambahan. Besar dan luasnya hampir setara dengan gedung utama. Tapi gedung tambahan itu belum dipoles renovasi.

” Gedung B ini, kantor karyawan kereta api, sekaligus mess, dan ada ruang perjamuan,” katanya.

Di pintu masuk, di sebuah lorong menuju ruangan bawa tanah, tercetak tulisan Geboudwd 1916-1918. ” Itu informasi tahun gedung dibangun,” kata Mas Ferry.

Kalau gedung utama sendiri, kata dia,  dibangun pada 1904-1907. Dan diresmikan pada Juli 1907. Mas Ferry pun kembali menerangkan tetek bengek dari sejarah gedung B Lawang Sewu.

” Ini panel listrik yang digunakan saat itu. Ini Telex, perusahaan pembuatnya. Kekuatan panel listrik itu sendiri, 500 volt, 100 ampere,” kata dia.

Wisata di Lawang Sewu sendiri dibagi dua paket. Paket siang, antara 8 sampai 5 sore. Juga ada wisata malam sampai jam 24.00, tengah malam.

Sampai kemudian tiba, sesi menjelajah ruang bawah tanah Lawang Sewu. Pengunjung harus pakai sepatu boot anti air. Sebab di bawah gedung ada aliran air. Saya pun turun ke ruangan bawah gedung. Karena di bawah gedung, maka Mas Ferry memakai senter sebagai alat penerangan.

Pantas hawa di ruangan atas begitu nyaman tak gerah, ternyata biangnya ada di bawah gedung. Oleh pihak kolonial, ruang bawah gedung difungsikan sebagai tempat penampungan air. Ada dua pipa. Satu pipa air, satunya lagi pipa udara yang disalurkan ke ruangan-ruangan diatasnya, untuk membuat nyaman hawa gedung.

Mas Ferry pun menyorot sebuah ruangan. Kata dia, ruangan itu fungsinya sebagai serapan air. Ada kotak-kotak dari beton. Di jaman Jepang, kotak serapan air itu difungsikan sebagai penjara jongkok.

” Satu kotak beton di isi tujuh orang, nah itu yang diseberangnya penjara berdiri,” kata Mas Ferry sambil menunjuk sebuah lorong, seberang ruang serapan air.

Gedung utama sendiri, sebenarnya juga ada ruangan bawah tanahnya, tapi tak difungsikan sebagai tempat wisata, sebab alur ruangan bawah tanah di gedung utama cukup rumit.

” Ruangan bawah tanah di gedung utama, juga katanya tembus sampai ke Kota Tua dan Wisma Gubernur,” ujarnya.

Wisata malam banyak peminatnya, kata dia. Terlebih setelah sebuah stasiun televisi menggelar acara uji nyalinya di ruangan bawah tanah itu.

” Mungkin nyari yang serem-serem. Yang mistislah,” kata dia.

Dengan telaten, Mas Ferry menjelaskan setiap detil di ruangan bawah tanah itu.

” Ini adalah pembuangan air, kalau air penuh di bawah,” kata Mas Ferry, menunjuk sebuah celah berbentuk kotak yang mengarah ke luar.

” Tapi di Jaman Jepang, di pakai untuk pembuangan mayat tahanan yang meninggal,” katanya.

Saat ditanya, apakah selama tiga tahun menjadi pemandu, pernah menemui hal-hal yang janggal. Ia tertawa. ” Kadang-kadang dengar bunyi-bunyian aneh,” kata dia.

Datang ke Lawang Sewu, selain kita akan mendapatkan pengetahuan sejarah juga ada cerita mistis di balik gedung tua ini. Foto: heritage.kai.id

Lalu tiba pada satu ruang di ruangan bawah tanah. Kata dia, itu ruang mesin saat jaman kolonial. Tapi oleh Jepang, ruang itu di alihfungsikan sebagai ruang eksekusi tahanan.

Gedung tambahan atau gedung B, semuanya ada tiga lantai. Pun gedung utama, jumlah lantainya sama. Di Lawang Sewu juga bisa dijumpai bentuk wastefel jaman baheula. Perusahaan pembuat wastafel itu sendiri adalah Van De Berg, seperti yang tercetak di wastafel. Juga klost buatan perusahaan The Adamant.

Di lantai dua gedung B, ada ruangan besar, tempat perjamuan. Katanya, dulu bule Belanda, berdansa-dansi di ruangan itu.  Dilantai dua itu pula, terdapat ruangan dengan kamar berderet sepanjang lorongnya.

” Itu ruang mess pegawai, kayak gerbong kereta yah,” katanya.

Di balkon, berderet pula pintu-pintu ruangan, sepanjang gedung. Ternyata jumlah pintu itu yang mengilhami nama Lawang Sewu.

” Totalnya bukan seribu tapi lebih. Karena kita menghitungnya satu daun pintu jumlahnya dua pintu,” ujarnya. Rencananya gedung B itu akan direnovasi juga. Gedung utama yang sudah di perbaiki, nantinya akan difungsikan sebagai pusat oleh-oleh khas Jawa Tengah.

Nah, jika kamu sedang atau mau melancong ke Kota Semarang, rasanya kurang afdol jika belum datang ke Lawang Sewu. Nikmati cerita jejak sejarahnya. Dan rasakan sensasi dongeng mistisnya. Sungguh wisata sejarah yang akan membuat acara melancongmu lebih menarik untuk dikenang.

comments powered by Disqus

Related Posts

Cerita tiga hari di Semarang

Perjalanan kali ini termasuk mendadak, dan sebenarnya sih bukan perjalanan wisata. Kamis kemarin saya baru dapat tugas dari kantor untuk pergi Jum’at siang ke Semarang. Tujuannya test POC salah satu vendor IT yang akan jadi mitra kerjasama. Jatah espeje dari kantor cuman sampe Saptu (nanggung banget gak sih?!). Makanya secara saya masih melajang dan tiada ada kegiatan apapun di Jakarta, jadilah inisiatip extend sampe Minggu. Nombokin hotel semalam gak apa-apa lah. Yang penting tiket pesawat pulang pergi dibayarin :D.

Agenda dari kantor sih cuman dua, POC sama ngewakilin kondangan salah satu officer yang nikah. POC hari Jum’at, dan ke resepsi nikahan besoknya. Tak disangka POC yang mulai dari jam 3 berakhir malem banget sampe jam 10 karena beberapa kendala. Jadilah hari itu bener-bener murni kerja (lah emang mo ngapain?).

Read more

Mangut Kepala Ikan Manyung Bu Fat yang Bikin Lidah Bertekuk Lutut

Jika sedang melancong ke Kota Semarang, saya sarankan untuk singgah ke Warung Kepala Ikan Manyung Bu Fat. Pasti, tidak akan kecewa.

Read more

Kompleks Candi Muaro Jambi, Jejak Sriwijaya di Kota Jambi

Sebelum berkembang menjadi negara republik seperti sekarang ini, Indonesia dikenal sebagai daerah kerajaan yang wilayahnya tersebar di berbagai pelosok negeri. Diantaranya ada di Provinsi Jambi.

Read more