Eksplorasi Potensi Alam Desa Muara Emat (#1)

Pagi itu Desa Muara Emat, Kecamatan Batang Merangin, Kabupaten Kerinci, terlihat ramai. Mobil-mobil parkir di kedai-kedai kopi. Penumpangnya sibuk menikmati sarapan.

Hampir setiap kedai kopi yang berjajar dipinggir jalan, tidak ada yang kosong. Seperti biasa, mereka yang ada disana adalah sebagian besar pengguna jalan yang sengaja mampir untuk beristirahat sejenak.

Yap, Desa ini adalah spot pemberhentian buat mereka yang hendak mengunjungi Kota Sungai Penuh. Lokasinya berada di jalan utama menuju desa desa lain di Kabupaten Kerinci. Desa ini Berbatasan dengan Kabupaten Merangin dengan jarak tempuh berkisar 1,5 jam dari Kota Sungai Penuh.

Berbeda dengan mereka, kedatangan saya dan beberapa teman ke desa Muara Emat bermaksud menikmati keindahan alamnya. Salah satunya dengan mengunjungi Tebing Sigiinjai-Bukit Batu Runcing.

Tebing Siginjai-Bukit Batu Runcing adalah salah satu destinasi wisata alam menarik yang belum banyak diketahui. Disana terdapat beberapa jalur pemanjatan dengan panorama alamnya yang memukau. Sangat pas untuk menikmati keindahan alam sekaligus menguji adrenalin.

Perjalanan: Pemukiman Desa Muara Emat-Tebing Siginjai

Perjalanan menuju Tebing Siginjai bisa memakan waktu tiga jam dari pemukiman warga. Titik start perjalanan kami dimulai dari lokasi yang tidak jauh dari Sekolah Dasar di Desa Muara Emat. Di sana ada jalan setapak yang biasa dilalui oleh masyarakat yang hendak ke kebun.

Jalan tersebut lebarnya tidak lebih dari 1,5 meter. Didominasi oleh tanah merah dan berbatu dengan medan yang terjal. Kendaraan bermotor hanya sesekali lewat mengantar hasil pertanian. Itupun ban motor mereka harus diliit rantai terlebih dahulu agar lebih mudah melewati jalanan yang rusak.

Jalur Menuju Tebing

Sepanjang perjalanan, kami berpapasan dengan beberapa petani yang tengah memanen hasil tanaman. Rata rata komoditas utama mereka adalah kopi dan palawija. Beberapa dari mereka melempar senyum dan beberapa lainnya dengan ramah menawarkan hasil sayuran untuk kami bawa.  

Baca juga:  Festival Kampung Laut, Tradisi Menyumbun Suku Duano

Perjalanan kian lama kian menanjak. Beban semakin terasa berat. Terlebih nafas yang kian tak beraturan.  Sesekali  menunduk menahan ceriel di pundak agar tetap terasa nyaman. Pandangan terus mengarah ke depan. Berharap ada jalan landai yang akan mengakhiri keterjalan medan.

Setelah berjalan sekitar 2 jam. Sebuah jalan landai memberikan napas segar. Disebelah kanannya ada sumber air yang bisa digunakan untuk melepas dahaga. Kami beristirahat sejenak. Masing masing mengisi botol air minum yang sudah kosong.

Sumber air ini cukup strategis karena berada tidak jauh dari ruas jalan. Hanya berkisar 10 meter. Airnyapun sangat bersih. Masyarakat telah memasang bambu sebagai pancuran sehingga air lebih mudah dimasukkan ke dalam botol air minum atau jirigen.

Sumber Air yang di Jalur Pendakian

Sembari mengatur napas yang kelelahan, saya merebahkan ceriel. Tatapan berkeliaran menikmati suasana hijau landscape pegunungan bukit barisan. Panorama yang indah, semilir angin sepoi sepoi, berpadu  dengan gemercik air yang jatuh kepermukaan, cukup menghilangkan rasa letih yang sempat menghinggapi.

Lima belas menit istirahat, kami kembali menyandang ceriel yang tingginya melewati  kepala. Beban yang mencapai puluhan kilo tersebut menempel manja di pundak. Peralatan pemanjatan sengaja dibawa. Maklum, tebing yang dikunjungi masih belum terkelola secara optimal. Jadi belum tersedia fasilitas di sana kecuali jalur pemanjatan.

Setelah menempuh total 3 jam perjalanan dari desa, melewati tanjakan dan bebatuan licin yang cukup menguras energi, akhirnya sampai juga di muka tebing.

Melihat lebih dekat Bukit Batu Runcing, seperti melihat suguhan keajaiban alam yang dikelilingi area perkebunan. Bukit ini seperti tumbuh diantara tanaman palawija dan kopi. Menjulang kokoh dengan corak bercak indah dimuka tebingnya.

Keberadaannya cukup mencuri perhatian saya. Bukan karena ada jalur pemanjatan di sana, tapi karena posisi letaknya yang tidak biasa saya jumpai. Tebing ini bukan bagian dari deretan perbukitan sebagaimana tebing tebing pada umumnya. Dia hanya menempel pada sebongkah batu raksasa tanpa ditemani bongkahan bongkahan batu raksasa lain.

Baca juga:  Menikmati Danau Gunung Tujuh yang Mistis Nan Eksotis

Menguji Adrenalin di Tebing Siginjai-Bukit Batu Runcing

Kami membuka ceriel, mengambil perlengkapan yang sudah susah payah dibawa. Beberapa orang sibuk Memasang harnest di badan, menyusun rapi karabiner diatas matras, dan melenturkan karnmantel. Sementara yang lainnya setia mengamati setiap rekahan pada tebing yang siap dijadikan jalur pemanjatan.  

Pukul 13.02 wib, Setelah persiapan dirasa cukup, jari jari tangan kami mulai meraba setiap rekahan untuk dijadikan pegangan. Tubuh terus menempel ke dinding, merayapi setiap gapaian tangan untuk mencapai posisi yang lebih tinggi dan aman. Di bawah, Blayer dalam diam mengamati pergerakan, mencoba memahami setiap getaran karnmantel si pemanjat.

View Menuju Puncak

Aku sempat menciut pada ketinggian 25 meter. Dasar tebing yang berbatu adalah mimpi buruk yang menghantui. Adrenalin berpacu, tapi harapan untuk ke atas sana juga tak hilang kendali. Saya meramu keberanian. Sedikit demi sedikit dapat menjangkau dinding chimney yang kian melebar. Teriakan pemanjat pertama dan kedua yang lebih dulu sampai sudah terdengar jelas. Artinya Puncak semakin dekat.

“Ayo Dan, sedikit lagi” teriaknya menyemangati.

Setelah hampir 40 menit lamanya aku merayapi Tebing Siginjai, istirahat beberapa kali di jalur pemanjatan, hinggga mengorbankan kulit jari yang terkelupas, akhirnya saya bisa menginjakkan kaki di puncak Bukit Batu Runcing.

Puncak bukit ini berada di ketinggian 837 Mdpl. Ditandai dengan sebongkah batu besar yang bertengger di sana. Bongkahan batu besar tersebut berada tepat di tengah tengah puncak bukit. Bila angin badai, cekungan pada batu ini bisa digunakan sebagai area berlindung.

View Panorama dari Puncak Tebing

Menyaksikan keindahan alam dari puncak Tebing Siginjai-Bukit Batu Runcing adalah anugrah yang tak ternilai harganya. Dari puncak ini bisa terlihat Gunung Hulu Nilo dan Gunung Sumbing yang ada di Kabupaten Merangin. Dari puncak ini juga bisa disaksikan bagaimana menawannya pegunungan di Kabupaten Kerinci yang dijajari pepohonan rimbun nan hijau.

Baca juga:  Jambi Paradise, Surga Rekreasi yang Instagramable

Setelah puas dan di rasa cukup, kami memutuskan untuk turun dengan menggunakan teknik Descending. Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke dasar tebing dengan tekhnik ini. Di sana blayer dan beberapa penduduk tampak antusias menunggu.  

Desa Muara Emat
Puncak Tebing Siginjai-Bukit Batu Runcing

Malamnya, kami menghabiskan waktu di kaki bukit. Lokasi camp hanya berjarak sekitar 50 meter. Pintu tenda sengaja diarahkan ke muka tebing. View Bukit Batu Runcing dimalam hari tampak seperti monster pencakar langit. Suasana syahdu dengan senandung jangkrik dan cahaya yang berkilauan dari lampu badai pondok pondok petani.  

Saya menyeduh segelas kopi hitam, sembari membayangkan Desa Muara Emat 15 tahun yang lalu. Atau membayangkan daerah ini seperti yang diceritakan petani tadi. Dimana harimau dan hewan hewan buas masih kerap dijumpai. Barangkali tebing dan chimney yang kami lalui adalah markas besar mereka dulu. Kini semua hutan dan penghuninya telah pergi. Berganti dengan kopi dan tanaman palawija masyarakat. Deforestasi hutan.

One Response

  1. Alwin

Reply