Pengalaman ‘Seru’ Nginap di Hotel Ros In, Bantul

Penulis 'narsis' depan Hotel Rose In Bantul

Penulis ‘narsis’ depan Hotel Ros In Bantul

Usai makan di Warung Bakmi Jowo Mbah Gito, saya memilih pulang ke Hotel Ros In, di Bantul, tempat saya menginap selama di Yogyakarta. Esok hari, rencananya balik kembali ke Jakarta. Saya ingin rebahan, sambil nonton film di kamar hotel.

Sementara kawan-kawan saya, beberapa orang wartawan yang juga ikut ke Yogyakarta untuk meliput hari otonomi daerah memilih jalan-jalan ke Malioboro, pusat kota Yogyakarta. Sedangkan saya bersama Pak Acho Maddaremmeng, Kepala Bagian Humas Kementerian Dalam Negeri meluncur ke hotel.

Tiba di hotel mungkin sudah pukul sembilan malam. Duduk sebentar di lobi, baca koran, setelah itu melangkah ke kamar hotel. Di kamar 101,  saya menginap. Kamarnya ada di lantai satu. Paling pojok, tepat dekat ruang pertemuan yang sering dipakai ibadah oleh umat Kristen di sana.

Lobi Hotel Rose In, Bantul, Yogyakarta

Lobi Hotel Ros In, Bantul, Yogyakarta

Suasana hotel, terutama di lorong menuju kamar saya, sangat sepi. Pintu ruang pertemuan tampak terbuka. Hanya ada lampu sedikit, sisanya gelap. Tiba-tiba saya merasa merinding. Ah, saya tepis pikiran jelek tersebut. Pikir saya, ini mungkin pengaruh cerita kawan-kawan saat makan di Warung Bakmi Jowo Mbah Gito. Saat itu, sambil menikmati bakmi godog, kami bercerita dengan tema agak horor. Saling tukar cerita mistis. Ya, cerita tentang alam gaib dan mahluk halus.

Salah satu lorong di Hotel Rose In, Bantul

Salah satu lorong di Hotel Ros In, Bantul

Mendekati pintu kamar, rasa merinding makin menjadi. Segera saya bergegas masuk kamar, begitu sudah ada depan pintu. Ah, lega rasanya sudah dalam kamar. Saya pun buka sepatu. Ganti celana panjang dengan celana pendek, lalu rebahan dan menonton saluran HBO di layar televisi yang ada dalam kamar. Nonton film adalah kebiasaan saya, kalau sedang traveling atau pergi ke luar kota.

Baca juga:  Keindahan Air Terjun Sri Gethuk di Yogyakarta

Filmnya bagus The Imitation Game. Film ini menceritakan kisah nyata seorang profesor di Cambridge University, Inggris. Settingnya saat Jerman mulai membombardir negara-negara di Eropa. Inggris salah satu negara yang terseret perang brutal dengan Jerman di bawah Hitler.

Dikisahkan dalam film tersebut, Inggris kesulitan memecahkan sandi atau kode ‘Enigma’ yang dipakai tentara Jerman. Maka ditugaskanlah Alan Turing, matematikawan, logikawan, kriptoanalis, dan ilmuwan komputer. Dia, profesor di Cambrige University. Menariknya, si Alan Turing ini merekrut staf yang akan membantunya lewat seleksi memakai Teka Teki Silang atau TTS yang dimuat di koran. Dikisahkan, akhirnya si Alan Turing bisa membentuk tim.

Alan Turing sendiri kemudian membuat semacam mesin untuk memecahkan kode Enigma. Awalnya, mesin buatan Alan dicibir. Bahkan, timnya hendak dibubarkan. Untungnya, semua anggota tim membela. Padahal sebelumnya sempat ada konflik diantara mereka yang mengangap si matematikawan itu egois.

Film tersebut juga menceritakan kisah masa kecil Alan Turing saat masih belia. Ia siswa cerdas, tapi kerap di bully di sekolahnya. Singkat cerita, Alan Turing akhirnya sukses membongkar kode Enigma tentara Nazi Jerman. Dan, itu sangat membantu tentara Sekutu, termasuk Inggris dalam mengalahkan Jerman.

Sayang nasib Alan Turing berakhir tragis. Ia ternyata seorang homoseksual. Masa itu, menjadi homoseksual adalah tindakan pidana. Alan Turing pun disuruh memilih, dipenjara atau dikebiri dengan cairan kimia. Turing memilih dikebiri, agar tetap bisa berkarya. Tapi, kemudian Turing bunuh diri. Lima puluh tahun setelah itu, baru jasa Turing diakui oleh Kerajaan Inggris. Bahkan oleh para sejarawan, Alan Turing dianggap berjasa besar mempersingkat perang, hingga 14 juta orang terselamatkan.

Lagi asyik-asyiknya nonton film, tiba-tiba terdengar suara-suara. Kedengarannya seperti suara perempuan yang memanggil. Hey, hey, hey, begitu saya dengar. Ah, saya pikir karena sedang paranoid buntut cerita-cerita ‘seram’ di Warung Bakmi Jowo Mbah Gito. Saya diamkan. Tapi kembali suara itu terdengar.

Baca juga:  Ekowisata Taman Mudal, Sensasi Wisata Alam Tak Tertandingi

Karena saya dengar dari luar kamar, maka saya sibak gorden penutup jendela. Di luar tak ada apa-apa, hanya parkiran yang lengang. Sialan, saya makin merinding. Segera saya kirim pesan via blackberry messenger ke Carlos, teman satu kamar yang sedang melayap ke Malioboro. Saya bertanya, kapan dia pulang. Carlos sendiri, lewat BBM menjawab, bahwa dia masih di Malioboro.

Kamar 101 yang saya inapi, cukup luas dan bersih

Kamar 101 yang saya inapi, cukup luas dan bersih

Salah satu sudut di kamar 101, Hotel Rose In, Bantul

Salah satu sudut di kamar 101, Hotel Ros In, Bantul

Aduh, saya makin merinding. Tiba-tiba teringat, ada dua wartawan yang tadi tak ikut ke Warung Bakmi Jowo Mbah Gitu. Bang Ken dan Yudha, dua wartawan yang tak ikut makan malam. Keduanya nginap di kamar yang ada di lantai dua. Sialnya lagi, saya tak tahu nomor kamarnya. Cepat-cepat saya kirim BBM ke Bang Ken dan Yudha menanyakan nomor kamar mereka.

Pesan tak cepat dibalas. Untungnya, beberapa menit kemudian, Yudha menjawab, bahwa dia ada di kamar nomor 206. Dengan tergesa-gesa, saya segera berjingkat keluar kamar. Setengah berlari, saya naik ke lantai dua, menuju kamar 206. Akhirnya saya tiba di lantai dua. Langsung pencet bel. Pintu dibuka, saya langsung masuk menerobos kamar.

” Ada apa Kang? Kirain ikut ke Malioboro,” kata Bang Ken.

Saya pun akhirnya menceritakan apa yang saya dengar di kamar tempat saya menginap. Bang Ken tertawa. ” Ah itu perasaanmu saja,” kata dia.

Segera saya kirim BBM ke Carlos, bahwa saya ada di kamar 202. Sekitar setengah jam kemudian, Carlos datang. Saya pun bersama dia turun kembali ke lantai satu, ke kamar tempat kami menginap.

Baca juga:  Melongok negeri seberang #4: Masih di Bangkok

Hotel Ros In sendiri sebenarnya enak dan nyaman. Kamar yang saya inapi, di nomor 101, cukup luas. Suasana hotel pun tak terlalu ramai. Suasana hotel seperti itu yang saya suka. Tidak hiruk pikuk, tapi tenang. Bahkan saya sempat berenang bersama Carlos dan Ikbal, staf Humas Kemendagri, sore hari tadi. Kolam renangnya sepi, langsung menghadap ke restoran yang juga sepi.

Suasana di dalam lobi Hotel Rose In

Suasana di dalam lobi Hotel Ros In

Restoran, tempat tamu Hotel Rose In sarapan

Restoran, tempat tamu Hotel Ros In sarapan

Karena sudah ada Carlos, saya sedikit tenang. Setidaknya ada teman. Suara seperti memanggil terdengar lagi. Tapi tak saya hiraukan. Saya pun langsung bersembunyi dibalik selimut, menunggu kantuk datang. Carlos tidur duluan. Suara dengkurnya terdengar cukup nyaring. Dia harus bangun pagi-pagi, karena pulang naik kereta. Sementara saya pulang tengah hari via Bandara Adisutjipto. Akhirnya kantuk datang, dan saya pun tertidur.

Baru setelah tiba di Jakarta, saya diberitahu soal suara-suara aneh tersebut. Katanya, itu bukan suara ‘makhluk halus’, tapi suara mesin air yang memang lagi agak bermasalah. Ah, dasar pikiran parno. Nanti, jika nginap lagi di Ros In, saya tak akan parno lagi. Tiba-tiba saya rindu suasana tenang Hotel Ros In. Rindu menu Gudeg Yogya yang nikmat saat sarapan pagi. Semoga bisa menginap di sana lagi.

Reply