Menyaksikan Aksi Koki Pecel Lele yang Tak Kalah dengan Chef Ternama

Pada suatu Minggu malam, sekitar pukul 21.00 WIB, istri saya menelpon. Ia minta saya mampir di warung pecel lele dan ayam langganan, sebelum pulang ke rumah. Katanya, hari Senin nanti, mau puasa. Perlu makan untuk sahur.

Saya awalnya menawarkan menu lain, karena terlalu sering pecel lele dan ayam yang dipesan. Saya coba tawarkan, hamburger, pizza dan menu masakan Dai Nippon, teriyaki dan yakiniku. Semuanya ditolak. Istri saya keukeuh dengan pecel ayam dan lele. Jangan lupa kata dia mewanti-wanti, tahu dan tempe goreng. Sambalnya, minta agak banyakan, ujarnya menegaskan pesanan.

Sebagai suami yang baik, permintaan istri adalah titah yang tak boleh dibantah. Sekali membantah, bisa berabe efeknya. Bisa jadi, saya tak bisa masuk kamar. Kalau seperti itu, kiamat namanya. Namun saya senang dengan permintaan mantan pacar saya itu. Sebab itu membuktikan lidahnya masih lidah rakyat. Lidah yang ngindonesia.

Warung 48, salah satu warung pecel lele dan seafood yang cukup enak di daerah Meruyung, Depok. Foto: dokumen pribadi

Menjelang tengah malam, kurang setengah jam, saya sudah sampai di warung pecel lele dan ayam langganan saya. Warung favorit saya dan istri, letaknya tak jauh dari pertigaan Meruyung Depok. Posisi warung sebelah kiri jalan, jika dari arah Meruyung. Di sebelahnya ada warung mie rebus.

Warung ini, jika saya mampir lumayan selalu ramai dengan pengunjung. Tetenggernya gampang dikenali. Spanduk kain dengan gambar ayam, bebek, ikan dan lele, lalu angka 48 di tengah spanduk, jadi tanda pengenal warung.

Saat saya tiba, ada beberapa yang sedang makan. Tidak terlalu ramai memang. Mungkin karena mau menjelang tengah malam. Arsitektur warung, sedikit lebih canggih dari warung sejenis. Atap warung dari asbes. Tiang-tiangnya bukan lagi kayu atau bambu, tapi sudah besi. Namun tetap tak menghilangkan suasana kerakyatan. Lantainya tanah yang dikeraskan. Tetap sederhana, tak nampak angkuh dan dingin, seperti restoran besar dengan nama yang kerap bagi lidah saya sukar di eja. Maklum penguasaan bahasa bule saya yang pas-pasan. Tapi warung pecel ayam itu terasa hangat dan akrab.

Walau warungnya sederhana, tapi rasa masakan seafood dan pecel lele di warung 48 ini boleh diadu dengan lainnya. Foto: dokumen pribadi

Masuk ke interiornya, juga tetap merakyat. Satu etalase dari kaca ditaruh di atas meja. Di dalamnya, ada beberapa potongan daging ayam yang sudah dibalur bumbu warna kuning. Begitu menggoda. Ada paha, ada dada. Semuanya terlihat menggairahkan. Tinggal beberapa potong yang tersisa.

Etalase terdiri dari dua tingkat. Tingkat dasar berisi potongan tempe dan tahu yang juga sudah dibaluri bumbu. Tahu dan tempe diwadahi nampan plastik. Di sebelahnya, tumpukan ati ampela, kepala ayam, dan kaki. Semuanya di tusuk pakai batang bambu, mirip sate. Di lantai dua etalase kaca, baru berisi nampan yang diatasnya ditaruh potongan daging ayam. Nampan plastik ada dua. Satu nampan, khusus berisi potongan paha. Nampan satunya lagi mengakomodir potongan daging dada dan sayap. Di sebelah etalase terdapat tempat untuk mencuci perabot. Tidak jauh dari situ ada baskom plastik berisi beberapa ekor lele yang direndam dalam air yang berbumbu.

Suasana interior dalam warung, sungguh merakyat. Coba lihat alat masaknya. Kualinya yang sudah tebal menghitam, kompor gasnya uang hasil oprekan atau modifikasi. Pokoknya rakyat banget.

Ilustrasi aksi koki memasak. Foto: Tripadvisor.in

Mejanya pun tak kalah merakyat. Meja hanya dilapisi bahan semacam karpet. Jauh seperti bumi dan langit, jika dibandingkan dengan meja-meja di restoran yang kinclong. Kursinya, kursi plastik warna merah. Tapi disitulah sensasinya. Lewat itu aroma dan suasana kerakyatan dirasakan. Aroma serta suasana yang akan membuat kita nyaman saat bersantap.

Sebab dengan suasana seperti itu, tak perlu lagi kita bicara table manner. Mau makan pakai tangan kiri atau kanan, demokratis. Tidak seperti kalau saya makan di restoran atau kafe, kerap merasa terintimidasi. Apalagi jika menengok meja sebelah, pengunjungnya wangi dan rapi jali. Rasanya makin terintimidasi saja. Di warung pecel ayam, persetan dengan sendok dan garpu.

Makan di warung pecel lele dan ayam, perasaan jadi kaum inferior sama sekali tak mampir. Saya selalu merasa jadi diri sendiri. Tak perlu takut dipandang norak atau ndeso. Saya bisa makan dengan gaya Indonesia. Bebas dan demokratis pokoknya.

Aksi memasak tukang masak di warung 48 ini jadi hiburan tersendiri tak kalah dengan aksi koki bintang lima. Foto: dokumen pribadi

Dan jika kita jeli memperhatikan, keprigelan para koki di warung pecel, tidak kalah dengan chef-chef yang sering nongol di layar kaca. Ya, meski harus diakui, dari sisi fashion, mereka jelas kalah gaul. Namun, soal kepiawaian meracik serta mengolah makanan, boleh diadu.

Seperti yang saya saksikan Minggu malam itu, para koki dengan cekatan meracik pesanan. Memakai seragam mirip kostum klub bola kelas tarkam, mereka menunjukan levelnya sebagai tukang masak yang expert.

Gaya mereka saat menggoreng, serta menumis juga tak kalah memikat dengan para koki tenar jebolan sekolah masak. Coba perhatikan gaya mereka mengangkat kuali saat memasak cah kangkung, sungguh mengagumkan. Gerakannya terukur dan cepat. Bahkan saya pikir dari sisi speed, mereka lebih unggul dari peracik kuliner yang kerap nampang di televisi. Cepat, dan cekatan.

Ilustrasi menu pecel lele. Foto: Tribunnews.com

Soal rasa, saya kira boleh diadu. Sebab sepengetahuan saya, tak pernah ada komplain tentang rasa pecel lele dan ayam. Tidak pernah saya baca surat pembaca yang merasa kecewa dengan layanan para penjual pecel lele dan ayam. Boleh dong jika itu saya artikan, layanan mereka selalu memuaskan.

Warung pecel favorit saya dan istri, tak hanya menyediakan pecel ayam dan lele, tapi juga menawarkan menu seafood. Ada menu ikan bawal, kerang, udang, cumi dan kepiting. Cara masaknya terserah selera, bisa asam manis, saus padang atau hanya dibakar, untuk ikan bawal. Pelengkap menu seafood yang paling favorit adalah cah kangkung. Ikan bawal, cumi, udang dan kerang atau kepiting saya yakin, kebanyakan datang dari para nelayan kita.

comments powered by Disqus

Related Posts

Mencicipi Kue Langka yang Kian Terdesak Zaman

Hari Sabtu, 28 Desember 2019, anak saya merengek ingin dibelikan kelapa muda. Anak dan istri saya memang suka minum air kelapa muda.

Read more

Tips Wisata Kuliner Saat Traveling

Traveling saat liburan memang sangat mengasyikan. Namun traveling belum lengkap jika tidak berburu wisata kuliner saat traveling. Dengan berburu wisata kuliner Anda dapat mencicipi makanan khas daerah langsung di daerah tersebut.

Read more

Rumah Makan Haji Masa, Warung Sayur Asam Legendaris di Tangerang

Sayur asem atau sayur asam, bagi orang Sunda dan Jawa, adalah menu kuliner yang tidak asing. Di tatar Sunda, sayur asemnya biasanya berkuah bening.

Read more