Kenangan Perjalanan ke Ciparay, Pinggiran Kota Kembang yang Masih Asri

Alam asri dengan udara segar di kota memang sudah menjadi barang yang mahal. Di sekitar kota, hijaunya pesawahan dan semilir angin nyaris tak ada lagi. Berganti dengan kerumunan hutan beton dan pengapnya polusi kendaraan. Pada tahun 2009, saya pernah menemui yang asri dan menyegarkan itu. Di Ciparay, daerah pinggiran kota Bandung. Tulisan ini adalah kenangan perjalanan saya ke Ciparay.

Saat itu usai berlebaran ke kampung halaman, saya bersama istri dan anak, sempat mampir ke Bandung. Di kota kembang, menunggu kerabat dari istri yang mengajak untuk menginap di Ciparay, sebuah daerah pinggiran Kota Bandung.

Sampai di sana, saya sedikit kaget. Ternyata suasananya begitu enak. Udara Ciparay masih segar. Tidak hiruk pikuk. Masih adem ayem pokoknya. Di Ciparay, saya numpang menginap di satu rumah. Rumah milik saudara kerabat istri saya. Rumahnya sederhana. Unik. Dindingnya terbuat dari papan kayu. Terlihat artistik.

Di depan rumah ada kolam ikan. Sementara di belakang rumah, terhampar hijaunya pesawahan. Hamparan pesawahan yang dibatasi punggung pegunungan. Nun jauh disana. Sangat indah, khas daerah pedesaan. Masih asli. Masih asri.

Foto ilustrasi, sumber: eramuslim.com

Di sana pula saya kembali ke suasana desa. Saya disuguhi menu makanan yang khas pedesaan. Ada lalapan mentimun dan leunca. Sambel terasi, tahu dan ayam goreng. Makin sempurna karena menyantapnya di belakang rumah. Di sebuah saung sederhana. Pemandangannya hamparan pesawahan yang sedang menghijau. Serta punggung pegunungan nun jauh disana. Benar-benar barang mewah untuk saya yang sudah terbiasa dengan suasana kota.

Kata kerabat istri saya, jika berlibur, ia lebih memilih ke Ciparay. Bukan ke Puncak, Bogor atau Lembang. Katanya, meski di Puncak Bogor atau di Lembang, udaranya masih lumayan segar, tapi dia tak kuat dengan macetnya. “‘Mending di sini, enak, tak banyak yang melancong ke sini. Untuk istirahat nyaman dan tenang,” katanya.

Baca juga:  Api Tak Kunjung Padam: Api Keabadian di Bumi Pamekasan, Madura

Si empunya rumah yang saya tumpangi ikut menimpali, ” Kadang ada juga orang Jakarta yang kesini, nginepnya di rumah warga. Disini sih, mangga saja bila ada yang mau nginep,” katanya.

Ketika di saya, saya masih ingat, saat matahari belum terbit, udara begitu segar. Bahkan saya sampai menggigil karena dinginnya. Dan, ketika sang matahari mulai terbit, hawa menghangat, namun tetap menyegarkan. Langit juga begitu biru. Tak pias seperti di Jakarta. Langit lengang, tanpa awan. Saya pun sepuasnya menghirup udara pagi, yang begitu segar. Hawa segar yang tak saya temui di di Jakarta.

Itu tahun 2009. Entah sekarang Ciparay seperti apa? Tapi menurut kerabat istri saya, Ciparay belum terlalu banyak berubah. Hamparan pesawahan masih ada. Masih menghijau. Langit juga, masih biru bersih, katanya. Semoga suasana itu tak cepat hilang. Tidak jadi dongeng karena berganti perumahan dan pabrik-pabrik. Semoga…

Jika benar Ciparay masih asri, cobalah, datang ke sana. Di sana kita bisa mapay (menyusuri) alamnya yang masih segar. Ya, itung-hitung berwisata alternatif.  Karena tetirah dari rutinitas tak mesti ke Puncak dan Lembang kan, yang sudah ramai dan sesak pengunjung. Baiknya coba sambangi pedesaan. Nikmati alam dan ramahnya penduduk desa. Pasti akan jadi perjalanan yang mengesankan.

Ilustrasi foto header: delapanmataangin.com

Reply