Jelajah Indochina #7 Kamboja

Overland ke Kamboja

Rupanya style perjalanan saya adalah aji mumpung, kunjungi sebanyak mungkin dalam waktu sesingkat-singkatnya. Waktu ngerencanain dulu belum ada penerbangan langsung Jakarta – Ho Chi Minh dari Air Asia. Jadi kalau mau balik, tetep harus lewat KL.

Maka dari itu saya pikir mengapa tidak sekalian mampir dulu ke Kamboja barang dua hari, sekedar menghabiskan penasaran tentang Angkor Wat. Kebetulan perbatasan Vietnam – Kamboja di bagian Selatan tidak terlalu jauh, tidak perlu terbang atau menyebrang lautan. Cukup dengan 6 jam perjalanan bus akan sampai selamat sentausa di ibukota Kamboja, Phnom Penh.


Tiket bus bisa dibeli di operator tour atau perusahaan bus sepanjang jalan Pham Ngu Lao atau De Tham. Ada dua operator terkenal yaitu Sapaco dan Mekong Express Limousine (bus!).

Saya baca-baca banyak yang merekomendasikan MEL, tapi karena tempatnya gak ketemu-temu akhirnya ke Sapaco saja yang tulisan banner di depan kantornya gede-gede.

Pegawainya seorang pria agak melambai yang ngaku pernah ke Bali (setelah tahu saya dari Indonesia). Saya coba pesan direct bus Saigon – Siem Reap, namun katanya gak bisa karena pada hari itu di Phnom Penh sedang ada water festival, jadi mau gak mau mesti beli tiket ke Phnom Penh dulu baru setelah nyampe, pesen lagi tiket terusan ke Siem Reap.

Akhirnya didapatlah tiket bus Saigon – Phnom Penh seharga 12 USD untuk keberangkatan esok hari pagi-pagi sekali, jam 7 teng.

Singkat kata singkat cerita, perjalanan darat menyeberang perbatasan dua negara pun dimulai. Bus-nya lumayan nyaman, bisa buat tiduran lah.

Untuk mengisi waktu perjalanan panjang itu saya meneruskan membaca Kronik Betawi. Rupanya bapak-bapak di sebelah saya agak tertarik dengan buku tersebut, dia coba buka beberapa halaman. Katanya dia pernah sekitar 4 tahun di Malaysia jadi lumayan tahu beberapa kata.

Oh iya, di dalam bus sang kondektur biasanya mengumpulkan passport kita untuk mengurus visa on arrival di perbatasan. Biaya VOA-nya sendiri sebenarnya 20 USD, ditambah fee buat kondektur yang ngurusin 5 USD. Gerbang perbatasan di sisi Vietnam dinamakan Moc Bai, sementara sisi Kamboja dinamakan Bavet. Antriannya lumayan panjang juga, dan kita masih tetap harus mengisi beberapa formulir, terutama form kesehatan, bebas flu burung, babi dsb.

Setelah lewat perbatasan, perjalanan di lanjutkan, sudah mulai masuk Kamboja, jalan datar, lurus, sisi kiri kanan sawah dan ladang agak membosankan sih karena itu pemandangan umum di Indonesia.

Kira-kira setengah perjalanan di Kamboja, bus istirahat sejenak, Sama aja kayak di kita, para penumpang dan supir turun dulu buat makan. Di sini sudah mulai berlaku uang Riel Kamboja.

Saya belum punya satu Riel pun, tapi tak usah khawatir karena USD pun diterima. Rate-nya adalah 1 USD 4000 Riel. Makan nasi campur telur dadar dan sayur waktu itu kena 2 USD.

Kira-kira jam 1 siang sampai juga di Phnom Penh, bus berhenti di depan kantor Sapaco. Di sana saya buru-buru pesan tiket terusan ke Siem Reap, Alhamdulillah masih ada untuk keberangkatan jam 14:00 seharga 11 USD klo gak salah.

Baca juga:  Galeri Foto Perjalanan di Kamboja

Masih ada beberapa menit lumayan buat jalan-jalan sekitaran Phnom Penh. Tentu saja gak dapet apa-apa, boro-boro bisa ke Killing Fields. Paling banter hanya bisa melihat Monumen Kemerdekaan yang memang lumayan dekat dengan kantor Sapaco.

Aura kota Phnom Penh sudah berbeda dengan Saigon yang ramai dengan motor lalu lalang. Di sini pun memang banyak motor tapi tidak terlalu ramai, boleh dibilang sepi. Panasnya sih sama saja.

Dari kantor Sapaco, disediakan sebuah mobil van untuk mengantar saya ke terminal bus. Penumpangnya cuma saya dan sepasang muda-mudi dari Jerman. Tadinya saya pikir mobil van kecil itu yang akan membawa sampai Siem Reap. Rupanya di terminal saya disuruh nunggu bus lain.

Agak bingung juga pas nyampe di terminal bus yang gak kayak terminal sama sekali itu. Di depan sudah ada bus ngetem, dan waktu menunjukkan jam 14:00, tapi saya bingung apa bener ini bus yang ke Siem Reap atau bukan. Si Jerman juga tampak bingung. Ada mba-mba duduk di front desk, orang-orang pada datang kesana.

Kebanyakan orang lokal sih jadi gak ngerti ngomong apa, mereka mendapatkan secarik kertas seperti karcis. Saya dan si Jerman sudah mendapatkan karcis, tapi tak tahu apakah harus mendaftar lagi di si mba-mba itu.

Dengan ragu-ragu saya coba menghampiri si mba-mba itu sambil menyodorkan karcis. Dengan menunjuk-nunjuk jam dinding dia bilang bahwa bus-nya baru akan datang jam 14:15. Okelah kalau begitu.

Seperti janjinya bus kami pun datang, bus gede seperti dua tingkat, tapi tingkat paling bawah hanya diisi bagasi saja. Saya dapat tempat duduk paling belakang.

Perjalanan Phnom Penh – Siem Reap seperti menembus lorong waktu, sepanjang jalan di dalam bus disuguhi lagi-lagu Khmer. Video klip-nya mengingatkan saya akan TVRI stasiun Bandung yang sering ditonton dulu. Penyanyi, cowok cewek berduet bersahutan dalam lagu mendayu-dayu dan suara agak cempreng, bergandengan tangan di pematang sawah, bertatap-tapan di ladang dan berkecipakan di pinggiran sungai. Belum lagi kalau melihat muka dan dandanannya persis artis-artis Indonesia jaman saya SD.

Ada yang lebih ajaib lagi, ketika memutar film Barat, kan di-dubbbing tuh, entah ke bahasa Vietnam atau Khmer. Yang jelas si dubber-nya seperti monolog, membaca naskah seorang diri. Mau pas adegan mesra, sedih, aksi teriak-teriak atau apapun, dubbernya tetep suara ibu-ibu yang lempeng.


Kalau dari sisi pemandangan sepanjang jalan sih subhanallah keren. Langit masih biru dengan awan-awan berarak riang. Ketika mendekati Siem Reap, tampak pohon-pohon lontar dan entah pohon apa lagi yang tinggi-tinggi dan jarang-jarang.

Baca juga:  Jelajah Indochina #1 Keberangkatan

Di tengah perjalanan sempat berhenti sejenak untuk istirahat. Di sinilah dijajakan penganan berupa gorengan jangkrik, laba-laba dan burung kecil-kecil nan malang. Tadinya saya pengen nyoba juga kalau gorengannya garing. Namun setelah melihat sendiri, selera jadi hilang, gorengannya sama sekali tak tampak crunchy karena minyak menggenang dimana-mana. Jadinya malah beli kedondong saja, halah.

Kira-kira jam 8 malam akhirnya tiba juga di Siem Reap. Turun-turun sudah diserbu tukang tuk-tuk. Tak kalah sigap, saya buka lembaran alamat hostel di Siem Reap dan disodorkan ke salahseorang tukang tuk-tuk yang menghampiri. Setelah manggut-manggut tanda mengerti, dia pun sepakat mengantar saya ke tempat nginep dengan bayaran 5 USD. Malas nawar-nawar karena udah buru-buru pengen tidur saya hayu-hayu saja.

Tempat nginepnya, Bou Savy namanya, agak nyingcet dikit dari jalan utama National Rd. Setelah sampai, si supir tuk-tuk yang Englishnya lebih faseh dari saya mencoba menawarkan diri untuk mengantarkan keliling komplek Angkor esok hari. Mr Baan namanya, dia menawarkan paket keliling Angkor dengan tuk-tuknya dari mulai sunrise sampai sunset seharga 12 USD.

Saya sudah baca-baca sebelumnya dan rata-rata memang sekitar 15 USD paketnya, jadi langsung deal malam itu juga.

Kesan pertama di Bou Savy lumayan bagus, modelnya guesthouse gitu. Saya pesan single room, biar bisa leluasa packing ulang buat pulang.

Begitu datang langsung disuguhi welcome drink, layaknya hotel saja. Sambil minta maaf karena single room tidak tersedia, resepsionis itu mengantar saya ke twin room dengan tarif single room untuk seorang diri. Tanpa ba bi bu lagi malam itu saya tidur cepat-cepat karena subuh sudah harus berburu sunrise di Angkor Wat.

Keliling komplek Angkor

Subuh itu masih gelap, saya sudah nangkring di tuk-tuk Mr Suuk. Eh tunggu, bukannya deal sama Mr Baan? Ternyata ada pergantian pemain, Mr Baan gak bisa nganter saya, jadi dia nyuruh temannya buat gantiin. Konyolnya saya gak ngeh kalau orangnya ganti, karena muka dan perawakannya hampir sama.

Sekitar 15 menitan baru nyampe gerbang komplek Angkor. Disini ada loketnya, mesti bayar tergantung paket yang diambil. Saya ambil yang 1 day, seharga 20 USD. Mahal memang.

Sistem tiketnya lumayan canggih, di depan sebuah loket kita disuruh nyengir mengahadap ke kamera digital saku, lalu jepret, dan tak lama kemudian tiket one day Angkor keluar lengkap dengan poto saya tercetak diatasnya. Dengan tiket ini kita bisa bebas keluar masuk Angkor tanpa membayar lagi seharian penuh.


Tiba di spot penantian sunrise Angkor Wat masih gelap, turis-turis lain juga tidak terlalu banyak. Saya memilih ngopi dulu sebelum masuk ke area candinya. Ternyata di tepi danau penantian sunrise ada juga yang jualan kopi dengan harga sama 1 USD, ditambah bonus kursi plastik biar nyaman nunggunya. Terlanjur ngopi duluan saya milih jongkok saja di tepian danau dengan bekal hanya tripod kecil.

Baca juga:  Menengok Pos TNI Penjaga Perbatasan Indonesia-Malaysia

Tak sampai seperminuman kopi, semburat-semburat kemilau cahaya mulai menampakkan dirinya dibalik candi berarsitektur Hindu tersebut. Indahnya tak bisa digambarkan, jadi mending dipotret saja…


Komplek Angkor itu sebenarnya terlalu luas untuk dijelajahi dalam satu hari. Apalagi kalau berencana hanya mengandalkan jalan kaki, mission impossible. Jarak dari satu objek candi ke objek candi lainnya bisa ratusan meter, bahkan kilometer.

Karena itulah tuktuk menjadi angkutan yang nyaman disini. Tinggal duduk manis di belakang pak supir yang duduk manis juga mengendalikan ojeknya. Gak perlu ngajak ngobrol tukang tuktuk juga karena gak bakalan kedengeran, soalnya lumayan jauhan. Jadi nikmati saja semilir angin dan pemandangan sekitar candi.

Waktu itu saya gak mengunjungi semua candi. Terlalu banyak objek yang harus dinikmati dan gak akan cukup waktu seharian. Angkor Wat sendiri sebenarnya hanya salah satu candi di komplek Angkor. Candi lainnya tidak kalah megah dan luas.

Tidak hanya candi Hindu candi Budha pun ada di sana. Stylenya pun tentu berbeda-beda. Highlight saya waktu itu adalah Angkor Wat untuk sunrise, Bayon dengan candi-candi berwajah raja Jayawarman VII, Ta Prohm dengan akar-akar pohon gede yang tumbuh di atas candi, terkenal karena menjadi lokasi shooting film Tomb Raider. Selain itu masih banyak candi-candi lain yang saya pun lupa nama-namanya.


Terakhir ditutup dengan nonton sunset di Phnom Bakheng. Untuk ini perlu perjuangan sedikit karena lokasi candi ada di atas bukit Bakheng, sementara tuk-tuk hanya mengantar sampai di tempat parkir saja di bawah. Jadi lumayan hiking beberapa ratus meter sebelum mencapai candi.

Tak cukup hiking, buat naek candinya pun perlu kesabaran dan ketabahan. Selain memang tumplek sama turis-turis, tangganya juga cukup tinggi dan curam.

Pulang…


Kamboja menjadi negara termahal yang saya singgahi, dari mulai biaya visa, sewa Tuk Tuk, tiket masuk Angkor sampai pajak bandara masing-masing 20 USD-an. Lebih parah lagi kehilangan hape satu-satunya ya di negara ini, entah bagaimana nasib Nokia E61 saya sekarang.

Namun tiap pengeluaran dalam perjalanan tidak semestinya dianggap sebagai biaya berlebihan atau penghamburan. Semuanya hanya perlu dicatat sebagai investasi membeli pengalaman. Selesai sudah perjalanan melelahkan tapi membuat ketagihan ini.

Kesimpulan dan saran

Halah kayak skripsi saja.
Ya sudah sampai disini dulu cerita perjalanan ini. Sengaja gak saya taruh kata “End” di judulnya dengan harapan bisa disambung ke negara-negara Indochina lainnya dalam waktu tidak terlalu lama ini.
Do’akan ya…

Bagi yang ketinggalan, bagian pertama tulisan ini bisa dibaca di: Jelajah Indochina #1

No Responses

Reply