Malam Mingguan di Imah Gede Abah Usep Suyatma

Teras depan rumah Abah Usep Suyatma, kasepuhan Desa Cisungsang, Lebak, Banten yang sering disebut imah gede

Teras depan rumah Abah Usep Suyatma, kasepuhan Desa Cisungsang, Lebak, Banten yang sering disebut imah gede

Malam minggu malam yang panjang. Malam yang enak untuk pacaran, begitu penggalan syair sebuah lagu. Malam minggu memang identik dengan orang yang pacaran. Ini malam yang tepat untuk ngapel ke si jantung hati.

Tapi, karena saya tak pacaran lagi alias menikah, tak ada lagi acara ngapel ke rumah pacar. Yang ada ngapel di rumah sendiri alias bersama istri dan anak tercinta. Seringnya seperti itu. Namun, malam minggu kemarin, atau Sabtu malam, 27 Agustus 2016, saya tak bisa malam mingguan bersama istri tercinta.

Adalah tugas dari kantor yang membuat saya bermalam minggu di tempat lain. Kantor menugaskan saya pergi ke Banten, tepatnya ke Desa Cisungsang, yang ada di kabupaten Lebak, salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Banten. Saya datang ke sana atas undangan Pemerintah Provinsi Banten, menghadiri acara ‘Seren Taun’ semacam acara adat di desa tersebut yang sudah dilakukan secara turun temurun.

Berangkat ke Desa Cisungsang, Sabtu pagi. Saya dan beberapa wartawan yang juga diundang dijemput di kawasan Bumi Serpong Damai, Tangerang. Dari sana, menggunakan dua mobil jenis minibus elf, kami berangkat.

Tiba di Kota Serang, hari menjelang siang. Sialnya, begitu keluar pintu tol Serang Timur, mobil yang saya tumpangi dengan beberapa wartawan ngadat. Kata supirnya, rem bermasalah. Waduh.

Awalnya mobil hendak diperbaiki dulu. Tapi, ketua rombongan, memutuskan mengganti mobil. Ia akan cari mobil baru. Kata dia, ketimbang menunggu mobil di service yang entah kapan selesainya, lebih baik mengganti dengan mobil baru. Ia pun kemudian mencari mobil sewaan.

Karena kami berhenti di mulut pintu tol, maka diputuskan menunggu depan kampus Universitas Tirtayasa (Untirta) Serang. Memakai mobil satunya lagi yang tak bermasalah, kami pun berangkat ke kampus Untirta. Mobil pun penuh sesak. Saya bahkan sampai tak kebagian kursi.

Di depan kampus, kami sempat minum es kelapa sambil menunggu mobil pengganti datang. Tidak lama mobil pengganti datang. Mobilnya sama jenis dengan mobil yang bermasalah. Setelah memasukan barang, kami pun berangkat beriringan. Mobil pertama jadi penunjuk jalan. Sementara saya naik mobil kedua.

Sampai di Pandeglang, mobil yang kami tumpangi ketinggalan jauh. Mobil pertama, sudah tak terlihat lagi. Tidak lama, supir mendapat telepon dari si ketua rombongan, Mas Aji namanya, staf dari Pemprov Banten. Ia menanyakan posisi mobil yang kami tumpangi. Setelah diberi tahu, mobil disuruh putar balik, karena mobil pertama ternyata mampir di sebuah restoran untuk makan siang. Sementara letak restoran sudah kami lewati. Terpaksa kami putar balik. Kata Mas Aji, Gubernur Banten, Rano Karno, mau ngajak makan siang.

Baca juga:  Intip Yuks, Tempat Syuting Drama Korea Untuk Traveling Seru di Korea Selatan!

Restoran tersebut bernama Dapoer Iboe. Letak restoran persis di depan alun-alun Kota Pandeglang. Setelah turun dari mobil, kami langsung menuju restoran. Tempat makan di Dapoer Iboe menarik. Terutama yang di ruang terbuka. Langsung menghadap ke jalan. Di sebuah meja, Rano Karno, sedang asyik makan di temani stafnya.

” Ayo, ayo makan” seru Rano Karno dengan ramahnya begitu melihat kami sudah memasuki halaman restoran yang juga berfungsi sebagai tempat makan.

Di meja sudah disediakan menu nasi timbel. Karena lapar, kami pun makan dengan lahap. Selesai makan, rombongan Rano Karno pamit duluan. Setelah itu, baru rombongan kami, yang hendak melanjutkan perjalanan ke Desa Cisungkan.

Ternyata, perjalanan ke Desa Cisungkan, lumayan jauh. Kata si supir ditempuh sekitar lima jam-an. Waduh, itu mah sudah terhitung jauh. Seperti sebelumnya, mobil kami kembali ketinggalan. Mobil pertama melesat cepat. Alhasil, kami pun berjarak jauh dengan rombongan pertama.

Awalnya saya coba tertidur. Tapi, ketika seorang kawan berseru, bahwa ada pemandangan indah, saya pun tak jadi menjemput kantuk. Pemandangan ternyata benar-benar indah. Di sisi kanan jalan, terpampang pemandangan pantai dengan debur ombak menggulung-gulung membentur karang-karang yang berdiri di pinggiran pantai.

Kata Pak Supir, itu adalah Pantai Cibobos. Pantainya tak bisa direnangi, karena banyak karang. Tapi sekilas saya lihat, pemandangannya justru menakjubkan. Ombaknya bergulung tinggi. Menjelang tepi pantai, banyak karang berdiri angkuh, seperti menantang debur.

Sayang kami tak singgah. Saya hanya sempat memotret lewat jendela mobil yang sedang berjalan. Itu juga via kamera handphone. Hasilnya pun tak maksimal. Meski begitu, mata terasa segar. Pemandangan pantai dengan debur ombaknya sedikit jadi pengobat penat di perjalanan.

Suasana pasar rakyat di acara Seren Taun Desa Adat Cisungsang, Lebak Banten

Suasana pasar rakyat di acara Seren Taun Desa Adat Cisungsang, Lebak Banten

Sore hari menjelang petang, kami baru sampai Desa Bayah Barat, Kabupaten Lebak. Saya tanya supir, ternyata perjalanan masih jauh. Di desa tersebut, kami berhenti, karena ada sekelompok warga yang tampak akan berdemo. Menurut Mas Aji, di desa itu dulu sempat terjadi demonstrasi. Sekelompok warga menghadang rombongan Rano Karno yang kala itu juga mau menghadiri acara Seren Taun. Dan aksi penghadangan berakhir ricuh. Para pendemo melempari mobil yang membawa rombongan Gubernur Banten. Beberapa mobil rusak.

Baca juga:  Butuh Refreshing Saat Pandemi? Ke 5 Tempat Glamping Seru di Bogor Aja!

Sampai Magrib tiba, rombongan Gubernur Rano tak kunjung datang. Warga masih tetap bertahan. Tapi ternyata puluhan warga yang nampak hendak melakukan unjuk rasa itu, bukan mau berdemonstrasi. Mereka justru menghadang Rano, untuk mengucapkan terima kasih, karena jalan menuju daerahnya sekarang sudah mulus.

Tak lama, setelah magrib lewat beberapa menit, rombongan Rano Karno tiba. Rano langsung turun menghampiri warga. Gubernur yang terkenal dengan perannya sebagai Si Doel itu pun langsung dikerubuti warga. Semua ingin memeluknya. Satu orang warga menyerahkan dua ekor ikan besar hasil tangkapannya. Setelah bicara sebentar, rombongan Gubernur putar balik. Rencananya, Gubernur menginap di sekitar Pantai Sawarna yang tak jauh dari desa tersebut.

Sementara kami, melanjutkan perjalanan. Mobil pertama yang jadi penunjuk jalan melesat cepat. Mobil yang kami tumpangi pun ketinggalan jauh. Hari sudah remang malam. Jalanan ternyata makin penuh dengan tanjakan. Berkelok-kelok, dan gelap karena minim penerangan. Beberapa kali kami melewati hujan. Ditambah kemudian hujan turun. Mobil pun meluncur perlahan.

Beberapa tikungan, menikung tajam. Mobil beberapa kali harus melambat, karena berpaspasan dengan mobil lain yang melaju dari arah berlawanan. Luas ruas jalan tak terlalu luas. Makin jauh, makin menanjak. Tikungan tajam pun sudah tak terhitung.

Mobil kami semakin ketinggalan. Belum lagi yang bikin dongkol, supir ternyata belum pernah kesana. Akibatnya, beberapa kali harus berhenti untuk menanyakan lokasi yang hendak dituju. Yang bikin tambah dongkol, Mas Aji, staf dari Pemprov yang menumpang di mobil pertama agak susah dihubungi. Sekali bisa dihubungi, informasi yang disampaikan tak begitu detil dan jelas. Beberapa fotografer yang ikut dalam mobil, terdengar beberapa kali menggerutu.

Kami pun makin jauh. Sampai akhirnya mobil berhenti kembali untuk bertanya pada warga. Ternyata, lokasi yang hendak kami tuju sudah terlewat jauh. Dengan perasaan dongkol, akhirnya kami pun putar balik. Jalan menuju lokasi Seren Taun pun akhirnya dapat ditemukan. Letaknya ternyata tak dipinggir jalan. Tapi, mesti masuk ke dalam menyusuri jalan kecil yang rusak penuh lubang.
Namun suasana tampak ramai. Puluhan motor yang dikemudikan anak-anak ABG, terlihat berkonvoi depan mobil. Mereka ternyata hendak menuju ke lokasi acara Seren Taun juga. Mobil yang kami tumpangi pun terpaksa berjalan merayap. Apalagi jalanan yang dilewati begitu sempit. Tidak hanya sempit, tapi juga berkeluk-keluk dengan tikungan yang lumayan tajam.

Baca juga:  Tour to Bali: Day 3

Makin mendekati lokasi, makin ramai. Dari kejauhan terdengar samar seperti ada pertunjukan musik dangdut. Makin dekat, suara musik dangdut makin terdengar jelas. Akhirnya kami pun sampai di mulut jalan menuju lokasi acara Seren Taun. Sialnya, mobil tak bisa masuk, sebab jalanan dipakai juga untuk bazar rakyat.

Di kanan kiri jalan, penuh dengan jejeran kios dadakan. Berbagai macam penjual tumplek ruah. Ada yang menjual baju, sayuran, makanan, barang elektronik dan lain-lain. Kami pun akhirnya terpaksa harus jalan kaki. Jalanan penuh dengan orang. Suara musik dangdut makin terdengar nyaring, memecah suasana malam minggu.

Dengan berjingkat, menghindari jalan becek, kami pun berjalan pelan, menuju rumah Abah Usep Suyatma, Kasepuhan Desa Cisungkan yang jadi pusat acara. Panggung musik dangdut sendiri terletak tidak jauh dari rumah Abah Usep.

Setelah berjalan di jalanan becek penuh lumpur, sisa hujan, kami pun tiba di gerbang halaman rumah Abah Usep. Di sini pun suasana tak kalah meriah. Di dekat pintu masuk halaman sebuah panggung didirikan. Kesenian Jaipongan sedang pentas di atas panggung. Tapi, penonton tak sebanyak di panggung musik dangdut. Hanya beberapa gelintir saja yang asyik menonton.

Rumah Abah Usep sendiri tak jauh dari panggung jaipongan. Rumahnya besar, berdinding gedek bambu. Rumahnya didominasi gedek bambu dan kayu. Bahkan saat kami masuk, lantainya pun dari kayu. Di teras rumah, puluhan orang duduk dan tiduran.

Di dalam pun, banyak orang. Tua muda, laki-laki dan perempuan, tumplek di ruang tamu. Akhirnya kami bertemu dengan Mas Aji staf Pemprov Banten. Dia langsung mengajak kami ke dapur rumah Abah. ” Langsung saja ke dapur, sudah disediakan makanan,” katanya.

Ya, kami memang sudah kelaparan. Dari tadi, perut sudah berbunyi keroncongan. Akhirnya, kami pun bisa makan. Menunya, ikan asin, opor ayam dan gulai daging sapi dan kambing. Sungguh nikmat, dipadu dengan sambal dan lalapan. Karena lapar, beberapa kali saya sampai nambah. Gulai kambingnya terasa nikmat.

Menu makan malam di Imah Gede Abah Usep

Menu makan malam di Imah Gede Abah Usep

Di luar, bunyi musik dangdut terdengar hingga ke dapur. Setelah selesai makan, kami pun keluar rumah, berniat nonton jaipongan. Makin malam, di halaman dan di dalam rumah Abah, tambah banyak orang.

Dapur di Imah Gede Abah Usep, peralatannya masih serba tradisional

Dapur di Imah Gede Abah Usep, peralatannya masih serba tradisional

Awalnya kami hendak menginap di rumah Abah. Tapi, Mas Aji mengatakan, ia sudah sewa rumah di sebuah kampung tak jauh dari rumah Abah. Jelang tengah malam, kami pun beranjak pergi dari rumah Abah Usep, menuju rumah warga yang akan jadi tempat menginap kami.

Reply