Long Nawang, Perjalanan ke Tapal Batas Negara

 

Aliran Sungai Kayan di pinggir Desa Long Nawang, Kaltara

Aliran Sungai Kayan di pinggir Desa Long Nawang, Kaltara

Setiap dapat tugas pergi ke perbatasan, entah kenapa saya selalu bungah. Mungkin karena saya akan menginjakkan kaki di daerah yang belum sama sekali dikunjungi. Mungkin juga karena saya akan melihat ke ujung batas republik.

Ya, perbatasan, selalu disebut sebagai beranda depan negara, karena berbatasan langsung dengan negara tetangga. Tapi banyak juga yang bercerita, meski halaman depan republik, wajah perbatasan bukan beranda yang resik. Namun, kumuh, bahkan banyak yang tertinggal jauh dengan wilayah tetangganya. Karena itulah saya selalu penasaran.

Menjelang peringatan hari kemerdekaan, 17 Agustus 2015, saya dapat undangan meliput ke Desa Long Nawang, Kalimantan Utara. Undangan datang dari Kementerian Dalam Negeri. Rencananya, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, bakal memimpin upacara hari kemerdekaan di sana.

Tentu undangan itu, sesuatu yang langka, dan rasanya rugi kalau dilewatkan. Maka, saya pun mengiyakan, setelah kantor mengijinkannya. Tanggal 15 Agustus, saya bersama beberapa wartawan lain yang diundang, berangkat dari Jakarta, menuju Kota Tarakan, Kalimantan Utara.

Semalam menginap di Tarakan. Baru pagi harinya, tanggal 16 Agustus, saya dan yang lain, berangkat ke Long Nawang, pakai pesawat kecil berkapasitas 12 penumpang. Siang hari jelang sore, pesawat yang kami tumpangi mendarat di sebuah bandara kecil di Desa Long Ampung.

Keluar dari bandara, mobil penjemput sudah menunggu di halaman bandara. Ternyata mobil yang akan kami gunakan, adalah mobil double gardan. Kata supir, setelah kami masuk dalam mobil, jika pakai mobil keluarga semacam Avanza, bisa rontok. Jalan menuju ke Long Nawang, masih buruk. Masih jalan tanah, meski sudah diratakan. Tapi, kalau musim hujan, katanya, jalanan tetap berkubang lumpur.

Mobil yang menuju Long Nawang menggunakan radio komunikasi antar pengemudi

Mobil yang menuju Long Nawang menggunakan radio komunikasi antar pengemudi

Mobil pun langsung bergerak. Lalu melaju cepat. Benar saja, keluar dari bandara, mobil yang kami tumpangi sudah langsung berhadapan dengan jalanan tanah. Perjalanan pun terasa sedang mengarungi jalur off road, karena turun naik bukit.

Baca juga:  Benteng Van Den Bosch, Benteng Unik Dengan Nilai Sejarah Tinggi di Ngawi

Tapi si supir tenang saja menyetir. Bahkan laju kendaraan sama sekali tak pelan. Sesekali, ia tampak sibuk dengan radio komunikasi yang dipasang di atas dashboard mobil. Tangannya, beberapa kali menjangkau radio komunikasi, lalu berbicara dalam bahasa yang saya tak mengerti. Ternyata bahasa daya. Penasaran saya pun bertanya, apa fungsi radio komunikasi tersebut.

” Ini untuk komunikasi dengan supir-supir mobil pak. Jadi kami tahu, apakah di depan ada mobil atau enggak. Jalanan kecil, jadi harus hati-hati. Biar tak ada tabrakan,” jawab si supir, seorang lelaki Suku Dayak yang saya taksir usianya mungkin belum genap 30 tahun.

Benar saja, tiba-tiba mobil melambat. Ternyata di depan, ada mobil yang melaju ke arah berlawanan. Mobil kami pun berpapasan dengan mobil yang melaju ke arah berlawanan. Setelah itu, kembali tancap gas. Sepanjang perjalanan, badan terasa diguncang-guncang. Tubuh pun dibanting kiri kanan jalan. Kiri kanan, bukit dengan pepohonan yang lumayan masih rimbun.

Setelah sekitar 30 menitan menempuh perjalanan, kami melihat satu pos tentara. Tampak dalam pos berbentuk panggung, beberapa tentara bersenjata lengkap sedang santai berjaga. Si supir memberi klakson. Setelah itu kembali melanjutkan perjalanan ke Desa Long Nawang.

Desa Long Nawang sendiri, adalah sebuah desa yang berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia. Ini salah satu desa pedalaman di Kalimantan Utara. Desa ini, masuk dalam wilayah Kabupaten Malinau, sebuah kabupaten di Kalimantan Utara. Desa ini dihuni oleh mayoritas Suku Dayak Kenyah.

Kembali kami menikmati guncangan demi guncangan. Tubuh beberapa kali dihempaskan. Maklum jalanan turun naik bukit. Bahkan beberapa kali menikung tajam. Tanjakan pun, ada lumayan cukup curam. Tapi, laju mobil tak pernah pelan.

Baca juga:  'Ngetes' Adrenalin Saat Weekend

Menjelang pukul tiga sore waktu setempat, akhirnya kami tiba di mulut desa. Bendera merah putih berjejer sepanjang jalan. Jalan masuk ke desa, sudah rata, bukan lagi jalan tanah. Sudah di aspal, meski tak begitu baik kualitasnya. Tapi cukup lumayan, tak lagi membuat kendaraan terguncang-guncang.

Beberapa rumah penduduk desa pun mulai terlihat. Kami, lihat sebuah sungai berair jernih di pinggir desa. Sungguh indah, pemandangannya. Udara terasa segar. Beberapa penduduk tampak beraktivitas di luar rumah. Makin masuk ke tengah desa, suasana kian ramah. Kata si supir, para penduduk sedang mempersiapkan diri untuk menyambut upacara hari kemerdekaan. Maklum ini baru pertama kali dalam sejarah desa, ada menteri yang mau datang. Bahkan jadi pemimpin upacara hari kemerdekaan.

Desa Long Nawang, satu hari menjelang peringatan 17 Agustusan

Desa Long Nawang, satu hari menjelang peringatan 17 Agustusan

Di tengah desa, dekat lapangan yang akan dipakai untuk upacara hari kemerdekaan suasana makin semarak. Puluhan warga desa sedang berlatih menari. Tarian itu yang nantinya akan diperagakan menyambut kedatangan Menteri Dalam Negeri. Menurut supir mobil kami, tarian tersebut tarian Kancet Ajai. Katanya, itu semacam tarian penyemangat berperang untuk laki-laki Suku Dayak Kenyah.

Jalanan desa cukup lebar. Rumah penduduk banyak yang berbentuk panggung. Rata-rata dinding rumah terbuat dari kayu. Mobil-mobil double gardan, banyak yang terparkir di pinggir jalan. Di depan rumah kepala suku, mobil yang kami tumpangi berhenti.

Di sebuah rumah, sebelah rumah kepala suku Dayak, rencananya kami akan menginap. Keluar dari mobil, badan terasa pegal-pegal. Tapi, hawa desa sungguh segar. Kami pun dipersilahkan untuk mampir ke rumah kepala suku. Makanan sudah disediakan.

Ikan, ayam, dan tumis daun pakis, menu yang disediakan untuk kami. Karena lapar, kami pun makan dengan lahap. Setelah itu, kami jalan-jalan sejenak, menikmati suasana desa. Seorang wartawan berbisik pada saya. ” Kang gadis-gadisnya cantik dan putih-putih yah,” katanya.

Baca juga:  Catatan Perjalanan Saat Singgah di Tarempa, Kota Kecil di Tapal Batas Negara

Saya tertawa mendengar komentarnya. Tapi memang, gadis desa di Long Nawang, cantik-cantik. Berkulit bersih. Wajahnya mirip etnis Tionghoa. Matanya agak sipit. Padahal mereka, tinggal di pedalaman yang sangat jauh dari pusat kota. Namun mereka seperti gadis yang rajin ke salon. Kulitnya putih dan bersih.

Salah satu sudut Desa Long Nawang, menjelang 17 Agustusan

Salah satu sudut Desa Long Nawang, menjelang 17 Agustusan

Namun yang saya kagumi adalah sungai yang mengalir di pinggir desa. Airnya jernih. Kata penduduk desa yang saya tanya, sungai itu bernama sungai Kayan. Rasanya ingin mencebur saja ke sungai. Merasakan segarnya air sungai. Sore hari, Pak Ihim Suram, mantan Camat di Kecamatan Kayan Hulu, mengajak kami untuk mengunjungi pos tentara yang berada paling luar, atau yang langsung berhadapan dengan wilayah Malaysia. Tentu ajakan yang tak mungkin ditolak. Nantikan ya tulisan selanjutnya catatan perjalanan mengungungi pos tentara di tapal batas negara.

No Responses

Reply