Catatan Perjalanan Saat Singgah di Tarempa, Kota Kecil di Tapal Batas Negara

Ini catatan lawas saya saat berkunjung ke Tarempa, kota kecil di tapal batas negara.

Tarempa sendiri adalah nama sebuah kecamatan di Pulau Siantan, Kabupaten Kepulauan Anambas salah satu kabupaten terluar di Indonesia. Wilayahnya, berbatasan langsung dengan beberapa negara, seperti Malaysia, Thailand, Vietnam dan Kamboja.

Di Anambas, terdapat 255 pulau. Tiga diantaranya adalah pulau terbesar, yakni Pulau Siantan, Jemaja dan Palmatak. Pulau Siantan sendiri, menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Anambas. Di pulau ini, tepatnya di Tarempa, kantor Bupati Anambas berada. Di Terempa juga, terdapat  markas pangkalan TNI-AL. Pendek kata, Tarempa adalah pusat geliat perekonomian Kabupaten Anambas. 

Sekitar tahun 2013, saya berkesempatan menginjakan kaki di Pulau Siantan. Saya kesana, memenuhi undangan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), sebuah badan yang khusus dibentuk untuk mengkoordinir program pembangunan di wilayah perbatasan negara. Status sebagai wartawan, memang ada enaknya, bisa menginjakan kaki di pelosok-pelosok negeri yang belum pernah dikunjungi. Seperti tahun 2013 itu, saya beruntung dapat menginjakan kaki di Pulau Siantan.

Menuju Anambas, bila dari Jakarta, bisa menggunakan penerbangan menuju ke Batam. Atau bila punya kocek tebal, bisa memakai pesawat carteran dari bandara Halim Perdana Kusumah yang langsung menuju bandara kecil milik Conoco Phillips, salah satu perusahaan minyak asing yang beroperasi di sekitar Anambas. Bandara Conoco sendiri, berada di Pulau Palmatak, salah satu dari tiga pulau terbesar di kepulauan Anambas.

Saya sendiri, karena statusnya ‘orang undangan’, maka harus mengikuti prosedur akomodasi dari pihak pengundang. Rombongan BNPP sendiri menuju Anambas, berangkat dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng menuju Bandara Hang Nadim, Batam. Baru dari Hang Nadim, menyambung perjalanan dengan pesawat baling-baling ke Pulau Palmatak, tempat bandara milik Conoco.

Berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta, sekitar pukul sembilan lewat. Dengan menggunakan pesawat milik maskapai penerbangan Garuda, saya dan rombongan BNPP, tiba di Hang Nadim, sekitar pukul 10 lewat sedikit. Jadi waktu tempuh dari Cengkareng ke Batam, sekitar satu jam-an. Tiba di Hang Nadim, saya dan rombongan BNPP harus ganti pesawat. Rencana ke Palmatak naik pesawat milik maskapai Sky Aviation.

Sekitar pukul satu waktu Batam, pesawat milik maskapai Sky Aviation telah tiba dan siap membawa saya ke Palmatak. Pesawat Sky Aviation sendiri, bukanlah pesawat berbadan besar. Hanya pesawat jenis Fokker. Setelah dipersilahkan untuk segera masuk ke pesawat, kami bergegas keluar dari ruang tunggu keberangkatan Bandara Hang Nadim.

Bandara Palmatak atau Matak Airport, pintu masuk ke Anambas lewat jalur udara. Foto: Batamnews.co.id

Pesawat Fokker bermoncong warna biru pun sudah terlihat nongkrong di landasan. Hawa siang itu terasa panas. Saya dan yang lainnya pun segera masuk ke badan pesawat. Setelah dapat tempat duduk, dan menyimpan tas di bagasi atas, saya coba menikmati suasana dalam pesawat. Mesin pendingin belum dinyalakan, hawa dalam pesawat pun terasa gerah.

Tangan pun reflek mengambil lembaran berisi instruksi penyelamatan yang ditaruh di belakang masing-masing kursi. Jadilah lembaran itu sebagai kipas dadakan, pengusir gerah. Kawan sebelah kursi berbisik, ” Kayak naik bis ke Grogol tanpa AC, gerah euy,”

Saya mendengarnya hanya tersenyum. Namun cerita tentang panasnya hawa dalam pesawat, saat pesawat masih ‘ngetem’ sering saya dengar. Mungkin demi pengiritan, hingga mesin pendingin tak dinyalakan, bila pesawat belum bergerak untuk terbang. Tak berapa lama, mesin pesawat dinyalakan. Gemuruh mesin dan suara putaran baling-baling, terdengar cukup nyaring tembus ke dalam pesawat.

Setelah berputar ke landasan, pesawat pun mulai terbang mengangkasa. Menurut pramugarinya, pesawat Sky Aviation akan mengangkasa dengan jelajah 16 ribu kaki di atas permukaan laut. Pramugarinya sendiri hanya ada dua orang.

Setelah mengangkasa, saya coba menikmati pemandangan lewat jendela kecil pesawat. Hawa gerah dalam pesawat mulai menghilang, seiring desir angin menghembus dari mesin pendingin yang mulai dinyalakan. Tidak beberapa lama, pramugari membagikan dua bungkus kue, lumayan untuk pengganjal perut.

Menurut salah seorang staf BNPP yang ikut mengawal perjalanan kami, ongkos dari Batam ke Palmatak, sekitar satu jutaan. Tiba di Palmatak, menjelang pukul tiga. Bandara Palmatak sendiri, hanya sebuah bandara kecil. Bandara ini dibangun oleh Conoco Phillips, perusahaan eksplorasi minyak asing yang beroperasi di sana.

Suasana bandara cukup sepi. Setelah keluar dari bandara dan beberapa saat menunggu, datang bus milik Conoco yang akan mengantar kami ke dermaga. Ya, menuju ke Tarempa, tujuan kami berikutnya, harus menggunakan ferry. Cuaca saat itu mulai mendung. Setelah semua naik, bis kecil pun bergerak keluar area bandara, menyusuri jalan beton yang tak begitu lebar. Jalan menuju dermaga berkelok-kelok, turun naik melingkari bukit.

Tidak terasa, kami pun sampai di dermaga. Sebuah kapal ferry milik Pemkab Anambas sudah siap menanti, terparkir pinggir dermaga. Benar saja, rintik hujan pun mulai turun saat kami memasuki badan kapal.  Untungnya laut cukup tenang. Ferry milik Pemkab Anambas sendiri, cukup bagus. Di masing-masing deretan kursi, disediakan sebuah televisi flat yang menempel di dinding.

Setelah semua rombongan masuk, kapal ferry pun mulai bergerak menjauh dari dermaga, lalu melesat memecah ombak menuju Pulau Siantan, tempat tujuan berikutnya. Perjalanan dari Palmatak ke Siantan dengan menggunakan ferry tak terlalu lama, mungkin hanya setengah jam-an.

Salah satu sudut pelabuhan di Kota Tarempa, Anambas. Foto: halamankepri.blogspot.com

Tiba di Siantan, hari sudah menjelang sore. Cuaca mendung, tapi gerimis hanya turun merinai, tak juga menjadi deras. Saat kapal merapat ke dermaga, di depan tampak gerbang masuk menuju markas Pangkalan TNI-AL. Ya, di Pulau Siantan memang sudah ada pangkalan TNI-AL, namanya Lanal Tarempa. Usai turun dari ferry, kaki pun akhirnya menginjak tanah Siantan, salah satu pulau yang bisa dikatakan menjadi tapal batas negara Indonesia di sebelah barat.

Mata pun coba merangkum suasana Siantan. Perkampungan penduduk tampak berderet sepanjang bibir laut. Bahkan, beberapa bangunan tampak menjorok ke lautan. Di sangga tiang-tiang beton, bangunan itu seperti mengapung diatas laut. Sementara di belakangnya bukit-bukit yang masih rimbun dengan pohon-pohon besar. Keluar dari dermaga, markas Lanal Tarempa langsung menyambut. Beberapa prajurit tampak terlihat santai di depan markas.

Siantan sendiri, adalah pusat pemerintahan Kabupaten Kepulauan Anambas. Di sini, kantor Bupati Anambas berada. Rumah sakit daerah pun berada di sini. Tarempa sendiri, adalah nama kecamatannya. Suasana Tarempa, tak begitu ramai. Mobil jarang terlihat hilir mudik. Kebanyakan yang memenuhi jalan adalah kendaraan roda dua. Sore itu, penduduk Pulau Siantan, banyak yang sudah santai. Beberapa nampak sedang menikmati sore di warung-warung kopi yang banyak bertebaran sepanjang jalan.

Salah satu sudut kota Tarempa, Anambas. Foto: Halamankepri.blogspot.com

Hawa laut terasa segar. Langit pun tak sepengap Jakarta. Kami pun berjalan kaki santai menuju tempat yang akan kami inapi selama di Siantan. Rencananya kami akan menginap di Terempa Beach, salah satu hotel terbesar di Anambas. Setelah berjalan kaki beberapa menit dari dermaga, kami pun tiba di depan Terempa Beach. Hotel dengan tiga lantai, bercat hijau ini, letaknya tak jauh dari kantor Bupati. Kantor Bupati sendiri tak terlalu megah, bahkan terkesan hanya bangunan sederhana.

Setelah di bagi kunci kamar, saya pun langsung menuju ke kamar, tempat saya akan menjemput mimpi di Anambas. Kamar hotel sendiri, lebih mirip kamar di penginapan kelas melati. Satu ranjang besar, dan satu televisi di depannya, menjadi pengisi kamar. Setelah menaruh tas, saya membuka jendela. Bunyi ombak, nyaring terdengar.

Karena berada di lantai satu, bunyi ombak nyaring terdengar. Apalagi hotel ini, di bangun di atas lautan dangkal. Ah, lumayan bunyi ombak bisa menjadi ‘musik’ pengantar tidur. Hawa dalam kamar pun tak begitu gerah, bahkan terasa sejuk. Padahal AC tak dinyalakan.

Setelah itu, kami dipersilahkan untuk makan sore di rumah makan yang letaknya tak begitu jauh dari hotel. Di sana, menu ikan menjadi santapan kami sore itu. Usai bersantap, saya coba menikmati sore di Tarempa. Hawa laut begitu segarnya. Di depan mata, perahu-perahu kayu nelayan terlihat hilir mudik. Di pinggir-pinggir jalan, beberapa orang sedang serius memancing.

Tarempa Beach, hotel terbesar di Tarempa, Anambas. Foto: Tripadvisor.co.id

Jalan di Tarempa sendiri mirip jembatan, karena di bangun di atas lautan dangkal. Jadi, jalan itulah yang menghubungkan dari satu bangunan ke bangunan lain. Saat menengok ke bawah jalan, ikan bisa terlihat dengan jelas, berenang-renang di bawah air. Karena sudah terasa lelah, dan ada kewajiban mengirim berita ke kantor, saya pun memutuskan menuju hotel. Niat awal ingin mengetik berita di dalam kamar. Tapi, ya ampun, dalam kamar sama sekali tak ada sinyal. Terpaksa kembali lagi ke luar hotel. Di luar pun, sinyal seperti tak bersemangat, muncul tenggelam.

Kepada salah seorang staf hotel, saya pun bertanya, mengapa sinyal di sini begitu enggan mampir ke telepon genggam. Dia menjawab, di Pulau Siantan, sinyal telepon memang susah. Hanya Telkomsel yang lumayan bagus sinyalnya. Alamak, alamat saya harus belajar sabar, sebab yang digunakan adalah kartu IM3. Meski sinyal agak lemah, tapi akhirnya, berita pun bisa di kirim via blackberry jadul saya. Setelah berita terkirim, saya agak tenang, karena kewajiban sudah ditunaikan, walau berita yang dikirim baru catatan perjalanan. Acara BNPP sendiri, baru dilaksanakan esok harinya.

Karena lelah, saya pun memutuskan untuk tidur. Di temani deburan ombak yang melamat masuk kamar, kantuk pun cepat datang. Entah saya mimpi apa. Namun yang pasti tidur dengan lelap. Malam hari, saya di bangunkan teman sekamar. ” Makan malam yuk,”katanya.

Kami berdua pun memutuskan makan di depan hotel. Depan hotel sudah nampak ramai. Jika malam, ternyata di depan hotel, menjadi tempat makan dadakan. Sepiring nasi goreng pun mampir di meja. Sambil melihat langsung ke lautan, dan menangkap kerlip-kerlip lampu dari rumah penduduk yang berderet bak kunang-kunang sepanjang bibir laut, makan nasi goreng pun terasa lebih berkesan. Soal rasa nomor dua, suasana yang utama.

Itu catatan perjalanan tahun 2013. Mungkin sekarang Tarempa telah berkembang pesat. Sinyal telepon seluler pun mungkin bukan hanya milik Telkomsel yang bisa ditangkap. Tapi, sinyal dari provider lain pun bisa dijaring handphone dengan baik. Semoga…

comments powered by Disqus

Related Posts

Long Nawang, Perjalanan ke Tapal Batas Negara

Aliran Sungai Kayan di pinggir Desa Long Nawang, Kaltara Setiap dapat tugas pergi ke perbatasan, entah kenapa saya selalu bungah.

Read more

Gudeg Adem Ayem Solo, Lezat dan Menjadi Langganan Tetap Para Pejabat

Rumah Makan (RM) Adem Ayem Solo berhadapan langsung dengan rumah dinas walikota Surakarta atau Loji Gandrung. Tepatnya di Jl. Slamet Riyadi 342, Kelurahan Penumping, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta.

Read more

Kendati Sudah Mereda, Tips Wisata Usai Pandemi Ini Tetap Perlu Kalian Terapkan

Meski sudah ada pelonggaran, ada beberapa tips wisata usai pandemi yang perlu menjadi perhatian. Kesehatan tetap merupakan urusan utama yang perlu mendapat kepedulian tinggi, termasuk faktor-faktor penting yang lain.

Read more