Catatan Perjalanan Ke Purwokerto Naik ‘Si Kuda Besi’

Suasana stasiun Purwokerto

Suasana stasiun Purwokerto

Pagi hari, suasana di stasiun Gambir, Jakarta Pusat, sudah ramai. Saya tengok jam tangan, sudah pukul 6.40 Wib. Saya coba telepon Arjuna dan Carlos, dua teman yang akan ikut sama-sama ke Purwokerto, menanyakan apakah mereka sudah sampai. Keduanya tak mengangkat telepon. Sepertinya dalam perjalanan sedang menuju Gambir.

Pukul 07.00 Wib, waktu yang disepakati untuk ngumpul di Gambir. Saya coba kirim pesan via blackberry messenger. Carlos akhirnya membalas, bahwa ia sudah sampai di Gambir, ada di pintu masuk sebelah selatan. Sementara saya ada di pintu utara.

Saya pun bergegas menuju pintu masuk selatan. Rasanya tak enak nongkrong sendiri. Lewat selasar stasiun saya menuju pintu selatan. Selasar stasiun cukup bersih. Larangan merokok dipasang di sepanjang selesar. Di pasang di tiang-tiang. Stasiun Gambir sendiri sudah beda. Kini tampil modern. Tak ada lagi, pedagang dengan tenda. Kesan kumuh, sudah lama hilang. Semua tertata rapi, termasuk toko, ataupun kafe dan tempat makan.

Stasiun Gambir yang sudah modern dengan tiang-tiang besar warna hijaunya

Stasiun Gambir yang sudah modern dengan tiang-tiang besar warna hijaunya

Beberapa petugas keamanan tampak berjaga. Ada yang pakai baret warna oranye. Mungkin tentara atau polisi. Akhirnya, saya sampai di pintu selatan. Carlos tampak asyik merokok bersama dengan Pak Acho, yang juga akan ikut ke Purwokerto. Di tempat Carlos berdiri, bebas merokok. Saya pun akhirnya gabung.

” Udah lama Kang?” tanya Carlos.

” Dari jam setengah tujuh saya sudah sampai,” jawab saya.

Kami bertiga pun asyik mengobrol sembari menunggu Arjuna yang katanya masih ada di sekitar Salemba, Jakarta Pusat. Waktu sudah menunjukan pukul 07.00 lewat. Akhirnya, Arjuna pun tiba. Kami pun segera bergegas masuk ke stasiun.

Salah satu sudut stasiun Gambir, Jakarta Pusat

Salah satu sudut stasiun Gambir, Jakarta Pusat

Tapi keluar lagi, karena waktu keberangkatan kereta masih cukup lama. Pukul 08.00 lebih, kereta yang akan kami tumpangi ke Purwokerto berangkat. Dan yang bikin saya senang, saya akan naik kereta wisata yang satu rangkaian dengan kereta Argo Dwipangga jurusan Solo. Ini pertama kali saya naik kereta wisata.

Akhirnya, kereta sebentar lagi berangkat. Kami pun masuk kembali ke stasiun. Sempat mengamati sebentar kondisi stasiun. Gambir, salah satu stasiun yang mungkin dari sisi arsitektur bangunannya sudah modern. Warna hijau mendominasi bangunan stasiun. Terdapat tiang-tiang besar dalam stasiun.

Kereta yang akan kami naiki sudah terparkir di jalur rel. Kami pun segera masuk ke gerbong kereta wisata. Kereta wisata Sumatera yang akan kami naiki. Di pintu masuk ‘pramugari’ kereta wisata menyambut kami dengan senyuman manisnya, mempersilahkan kami masuk.

Kami pun masuk gerbong. Kursi penumpang kereta wisata beda dengan kereta lainnya. Penumpang duduk berhadapan di kursi yang dipasang memanjang. Setelah semua masuk, terasa roda bergemeretak, tanda kereta mulai berjalan.

Suasana dalam gerbong kereta wisata 'Sumatera' satu rangkaian dengan gerbong kereta Argo Dwipangga

Suasana dalam gerbong kereta wisata ‘Sumatera’ satu rangkaian dengan gerbong kereta Argo Dwipangga

Dan, kereta pun langsung meluncur menyusuri rel menuju ke Purwokerto. Kereta Argo Dwipangga sendiri, hanya berhenti di stasiun Cirebon, Purwokerto, Yogyakarta dan di Solo, sebagai tujuan terakhir.

Sepanjang perjalanan, saya coba menikmati perjalanan. Tentang bagaimana naik kereta wisata, nanti akan saya tulis tersendiri. Tulisan ini, hanya mereview catatan perjalanan bolak balik dari Jakarta ke Purwokerto, ibukota Kabupaten Banyumas.

Naik kereta memang menyenangkan. Apalagi sekarang, tak lagi ada pengamen, atau pedagang makanan dan minuman yang bisa bebas masuk kereta, setiap si rangkaian kuda besi itu berhenti. Bebas. Dan tak harus berjubel-jubel. Duduk sesuai nomor kursi.

Tapi, naik kereta bagi perokok, tentu sebuah siksaan tersendiri. Karena sepanjang dalam kereta dilarang merokok. Jadi, berjam-jam, perokok harus menahan hasrat menghisap batang rokok. Perjalanan dari Jakarta ke Purwokerto sendiri memakan waktu sekitar 5 jam-an.

Kami sempat menyantap nasi goreng dalam kereta. Nasi gorengnya menurut saya tak begitu nendang. Rasanya hambar. Jauh kalah enak oleh nasi goreng gerobakan. Tapi, itu menurut penilaian selera lidah saya. Namun enaknya naik kereta, kita banyak disuguhi pemandangan yang menyejukan mata. Hamparan pesawahan yang menghijau, bukit-bukit dan geliat kehidupan di perkampungan, adalah menu pemandangan yang bisa ditangkap sepanjang jalur rel kereta.

Naik kereta sekarang nyaman. Sepanjang perjalanan di suguhi pemandangan yang menyegarkan mata

Naik kereta sekarang nyaman. Sepanjang perjalanan di suguhi pemandangan yang menyegarkan mata

Untuk membunuh suntuk, saya pun memilih membaca buku. Buku Lonely Planet Story, terbitan B-First, yang saya baca. Buku ini, salah satu buku favorit saya. Selalu saya bawa setiap melakukan perjalanan. Padahal sudah berapa kali saya khatam membaca buku itu. Tapi entahlah, membaca buku itu selalu menyenangkan.

Buku itu bercerita tentang awal mula berdirinya Lonely Planet, penerbit buku-buku seri perjalanan. Buku-buku terbitan Lonely Planet, dianggap ‘kitab kuning’ bagi para pelancong, terutama para backpacker.

Buku Lonely Planet Story, berkisah tentang dua orang bule asal Inggris, Tony dan Maureen Wheeler, dua pasangan kekasih yang kemudian jadi suami istri. Toni dan Maureen Wheeler, adalah pendiri Lonely Planet. Maureen sendiri bukan orang aseli Inggris. Dia berdarah Irlandia.

Membaca buku Loney Planet Story, salah satu buku favorit saya teman dalam perjalanan

Membaca buku Loney Planet Story, salah satu buku favorit saya teman dalam perjalanan

Buku Lonely Planet Story sangat inspiratif. Menceritakan, jatuh bangunnya Lonely Planet, hingga kemudian jadi penerbit seri perjalanan legendaris. Buku yang banyak mengajarkan, bahwa setiap perjalanan ada yang bisa dicatat dan diceritakan pada khalayak. Tony dan Maureen, berhasil mengubah setiap perjalanan yang dilakukanya, jadi tambang emas. Perjalanan yang berbuah keuntungan jutaan dollar. Tapi, tak mudah memang. Karena keduanya harus jatuh bangun. Bahkan pernah hampir bangkrut. Namun akhirnya, mereka jadi legenda. Sungguh cerita yang menggetarkan. Banyak pelajaran hidup yang bisa ditarik dalam buku tersebut.

Pemandangan para perokok saat kereta berhenti di stasiun Cirebon

Pemandangan para perokok saat kereta berhenti di stasiun Cirebon

Menjelang pukul 12.00-an, kereta berhenti di stasiun Cirebon. Kereta berhenti untuk mengisi air. Dan, berhamburanlah penumpang pencinta rokok keluar gerbong. Saya ikut keluar. Begitu juga dengan Carlos, Pak Acho dan Arjuna. Mereka serasa dibebaskan.

Sepanjang selasar dekat kereta, banyak penumpang bergerombol, menghisap batang rokoknya cepat-cepat. Kereta hanya berhenti 10 menit. Sampai kemudian, penumpang diminta kembali masuk gerbong. Kembali, di dalam gerbong saya melanjutkan membaca buku Lonely Planet Story.

Pukul 13.25 Wib, kereta Argo Dwipangga, kembali berhenti di Stasiun Purwokerto. Saya segera merapihkan tas. Memasukan buku, dan memeriksa barang, takut ada yang tertinggal. Setelah itu, keluar dari gerbong.

Salah satu sudut stasiun Purwokerto

Salah satu sudut stasiun Purwokerto

Stasiun Purwokerto sendiri tak besar. Siang itu, penumpang yang turun di Stasiun Purwokerto cukup banyak. Suasana stasiun juga lumayan ramai. Kami pun bergegas keluar stasiun. Di luar saya sempat mengamani bangunan stasiun. Bangunan stasiun sepertinya peninggalan Belanda. Meski sudah dipoles sedemikian rupa, jejak polesan tangan era kolonial masih bisa dilacak.

Mobil penjemput sudah menunggu. Kami pun langsung meluncur ke pusat kota. Rencananya kami akan menginap di Hotel Wisata Niaga yang adi Jalan Merdeka No 5, Purwokerto. Hanya sekitar 20 menitan, kami sudah sampai di Hotel Wisata Niaga. Hotelnya lumayan besar. Tapi tarif menginapnya cukup terjangkau kantong. Untuk kamar tipe standar, tarif menginap semalam Rp. 250.000. Cukup murah kan?

Setelah dapat kunci, saya segera bergegas masuk kamar. Saya satu kamar dengan Arjuna. Kamar yang saya tempati cukup luas. Sepertinya bukan tipe standar. Ada dua kamar tidur, juga seperangkat kursi dan meja di dalam kamar. Nanti, saya ulas khusus soal hotel yang menurut saya ini memuaskan.

Setelah menaruh tas, kami berdua keluar lagi. Niatnya ingin ngopi di kafe hotel. Saat kopi pesanan belum datang, Pak Acho tiba-tiba menelpon. Dia, sudah menunggu di lobi, mau pergi ke pendopo Kabupaten Banyumas. Terpaksa kami pun tak sempat menyeruput kopi. Acara di pendopo Kabupaten Banyumas, adalah tujuan utama kami ke Purwokerto. Pendoponya menarik. Arsitekturnya khas jawa, dengan tiang-tiang kayu jati berukur warna coklat.

Di pendopo, rencananya Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, hendak memberi pengarahan dalam acara Forum Komunikasi Pimpinan Daerah se-Banyumas. Ya, kami datang ke Purwokerto untuk meliput itu. Di pendopo, hanya sebentar. Selesai acara pengarahan, Mendagri kembali ke Jakarta naik helikopter. Dia dipanggil mendadak oleh bosnya, Presiden Jokowi.

Kami pun kembali ke hotel. Tiba di hotel langsung ke kafe, melanjutkan acara ngopi yang tadi batal. Ikut bergabung Carlos dan Pak Acho. Puas ngopi, kembali masuk ke kamar. Ngetik berita, setelah itu kembali membaca buku Lonely Planet Story.

Acara membaca saya hentikan diganti nonton acara televisi. Chanel Discovery Channel yang saya pilih. Saluran Discovery Channel, adalah salah satu saluran acara yang saya sukai. Setiap nginap di hotel, selain film, Discovery Channel, adalah program acara teve yang selalu saya tonton.

Magrib pun lewat. Perut sudah mulai keroncongan, tanda harus diisi. Tak lama Pak Acho kembali nelpon, mengajak untuk makan malam. Memakai taksi, kami pun berangkat cari tempat makan. Rumah Makan Mang Engking yang ada di Jalan HR. Boenyamin, Pabuaran, Purwokerto Utara, dipilih untuk makan malam.

Saat menuju ke rumah Mang Engking, hujan turun dengan deras. Tapi, ketika sampai di rumah makan Mang Engking, hujan tinggal gerimis. Rumah makan Mang Engking sendiri, tempatnya nyaman dan enak. Ada kolam yang dipinggirnya berdiri saung-saung dari bambu, tempat pengunjung menikmati makanan.

Selesai makan, kami kembali ke hotel. Di perjalanan, Arjuna banyak bercerita tentang masa kuliah dia di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto. Bagi Arjuna, kunjungan ke Purwokerto, adalah kunjungan nostalgia. Di kota itu, ia menuntut ilmu, hingga jadi sarjana.

Saat melewati Unsoed, ia sempat menunjuk sebuah tempat di seberang universitas. Katanya dulu di sana ada Warung Tegal atau warteg ‘perjuangan’. Warteg itu tempat ngumpulnya para aktivis kampus. Di warteg itu, para aktivis kerap nongkrong sambil berdiskusi.

” Budiman Sudjatmiko (politisi PDIP, mantan aktivis PRD-red), dulu sering datang ke warteg itu. Sayang sekarang warteg itu sudah tak ada. Sudah dibongkar jadi ruko,” kata Arjuna mengenang kisahnya saat kuliah di Purwokerto.

Tiba di hotel, kembali ke kafe. Malam itu, kafe tampak ramai. Banyak anak muda yang nongkrong di kafe. Harga makanan dan minuman di kafe hotel cukup murah, bahkan hanya beda-beda dikit dengan harga di luar hotel. Mungkin karena itu, kafe ramai pengunjung. Dan, sepertinya, mereka bukan tamu hotel.

Kami pun kembali ngopi dan ngobrol ngalor ngidul. Menjelang pukul 23.00, acara ngobrol bubar. Kami kembali ke kamar masing-masing. Rencananya kami akan pulang, esok harinya pukul 10.55 Wib.

Di dalam kamar, saya kembali melanjutkan acara membaca buku Lonely Planet Story, hingga tak sadar langsung tertidur. Pagi hari dibangunkan Arjuna. Katanya siap-siap pulang. Mandi, bereskan barang, setelah itu sarapan pagi.

Di tempat sarapan, sudah ada Pak Acho. Carlos menyusul belakangan. Usai sarapan, kami berangkat ke stasiun Purwokerto. Di pintu masuk halaman stasiun, taksi yang kami tumpangi terhadang macet. Antrian kendaraan yang mau masuk stasiun mengular. Karena tak mau ketinggalan kereta, kami pun memilih keluar dari taksi. Dan tergesa menuju stasiun. Tiket belum dicetak.

Selesai mencetak tiket, kami segera mengantri untuk masuk ke dalam stasiun. Usai mengantri dan memperlihatkan tiket, benar saja, kereta Taksaka I yang akan membawa kami ke Jakarta sudah terparkir. Kali ini, kami naik kereta kelas eksekutif Taksaka, bukan lagi kereta wisata.

Segera kami cari gerbong yang akan dinaiki. Dan, begitu ketemu langsung naik. Di kursi, dekat jendela saya duduk. Kursi favorit. Setidaknya, saya bisa menikmati perjalanan lewat jendela kereta. Tak berapa lama, kereta terasa bergerak. Lalu meluncur menuju Jakarta.

Suasana dalam gerbong kereta Taksaka I

Suasana dalam gerbong kereta Taksaka I

Sepanjang perjalanan, saya kembali menikmati pemandangan. Di daerah Brebes, saya melihat aktivitas petani di ladang bawang yang menghampar luas. Brebes memang terkenal sebagai penghasil bawang merah. Di stasiun Cirebon, kereta berhenti sejenak. Kembali, pemandangan perokok yang berhamburan dari gerbong terulang.

Setelah berhenti 10 menit, kereta kembali berangkat. Naik kereta Taksaka juga cukup nyaman. Sayang, kursi yang saya duduki, sepertinya rusak. Alas kursi yang saya duduki, seperti mau lepas. Jadi, saat tubuh coba menggelosor, alas duduk ikut tergeser, mau lepas. Kursi yang tak nyaman.

Saya sempat ke gerbong ‘restoran’ kereta. Niatnya ingin makan, karena perut lapar. Ternyata tempat makan penuh. Tak ada kursi tersisa. Terpaksa kembali ke tempat duduk. Lewat pramugari kereta saya pesan makanan. Saya pesan bakso. Ternyata baksonya habis.

” Adanya nasi goreng pak. Tapi agak lama, karena makanan beku, jadi harus dipanaskan,” kata si pramugari.

Ya, terpaksa daripada perut keroncongan, saya pesan nasi goreng. Saya sudah membayang nasi goreng yang saya makan dalam perjalanan menuju Purwokerto. Pastinya rasanya sama. Sambil, menunggu nasi goreng datang, kembali saya baca buku Lonely Planet Story. Sementara Arjuna yang duduk di sisi saya tampak tertidur.

Benar saja, nasi goreng yang saya pesan lama sekali datangnya. Perut makin keroncongan. Tapi akhirnya nasi goreng datang. Arjuna saya bangunkan, karena tadi dia juga pesan nasi goreng. Nasi goreng pesanan di wadahi wadah plastik. Dan, benar saja, nasi gorengnya sama seperti yang saya makan sebelumnya. Ada acar terdiri dari irisan mentimun dan wortel. Sambel yang hambar. Dan baso bulat. Ya, meski rasanya tak nendang, karena lapar, nasi goreng habis juga.

Nasi goreng dalam kereta

Nasi goreng dalam kereta

Di stasiun Jatinegara, Jakarta kereta berhenti, menurunkan penumpang yang memang turun di stasiun tersebut. Setelah itu kembali melanjutkan perjalanan ke Stasiun Gambir, stasiun pemberhentian terakhir. Pukul tiga sore lewat, akhirnya kami tiba di Stasiun Gambir, di Jakarta Pusat. Ambil motor di kantor Kementerian Dalam Negeri, lalu lanjut pulang ke rumah. Di rumah istri menunggu. Sejak dari tadi, selalu menanyakan kabar, saya sudah sampai mana. Maklum, besoknya, 15 Mei saya akan ulang tahun. Mungkin, dia mau kasih kejutan.

comments powered by Disqus

Related Posts

Liburan Murah ke Kuta ala Backpacker

  • May 16, 2016

Pantai Kuta, Bali. Foto: indonesiaituindah.net Berlibur ke Bali? Cukup menggoda memang bagi mereka yang sangat menikmati liburan di luar kota.

Read more

Parade Foto Perjalanan di Shanghai China

Shanghai, kota metropolitan China, tapi yang paling berkesan bagi saya adalah tempat makan muslim dan seorang anak yang mengantar jalan jauh untuk menemukan mesjid.

Read more

Galeri Foto Huangshan China

Tujuan pertama di China saat musim dingin, gugusan gunung batu lancip di Prof. Anhui. Simak catatan perjalanannya di artikel Huangshan: Mendaki Gunung dalam Lukisan

Read more